Beberapa waktu lalu, kopi luwak marak menjadi pembicaraan. Bukan hanya karena harganya yang mahal dan banyak diburu penikmat kopi, melainkan juga soal kehalalan produk tersebut bagi Muslim. Diperdebatkan apakah kopi jenis ini halal atau haram karena kopi ini berbalur kotoran luwak.


Disebut kopi luwak karena produk kopi ini berasal dari biji kopi yang dimakan oleh luwak dan kemudian dikeluarkan kembali bersama kotorannya. Selanjutnya, biji kopi itu diolah menjadi serbuk kopi yang dikonsumsi oleh masyarakat dan dikenal dengan sebutan kopi luwak.


Proses yang dilalui dalam memproduksi kopi luwak yang seperti itu, menjadi pertanyaan bagi konsumen Muslim. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons persoalan ini dengan mengeluarkan fatwa yang menyangkut aktivitas memproduksi, menjual, maupun mengonsumsi kopi luwak.


Dalam fatwanya, MUI mengatakan yang dimaksud dengan kopi luwak adalah kopi yang berasal dari biji buah kopi yang dimakan luwak, lalu keluar bersama kotorannya dengan syarat biji kopi itu masih utuh terbungkus kulit tanduk dan dapat tumbuh jika ditanam kembali.


Menurut MUI, kopi luwak dalam ketentuan di atas adalah mutanajjis atau barang yang terkena najis. Bukan najis. Dengan dua syarat yang disebutkan sebelumnya, kopi luwak halal setelah disucikan. “Mengonsumsi kopi luwak hukumnya boleh,’’ demikian fatwa yang dikeluarkan MUI.


Memproduksi dan memperjualbelikan kopi luwak hukumnya juga boleh. Dalam merumuskan fatwa mengenai kopi luwak ini, MUI mempertimbangkan berbagai argumen, baik yang ada dalam Alquran, hadis, maupun sejumlah sumber berupa kitab-kitab berkaitan dengan persoalan tersebut.

Dalam surah al-Baqarah ayat 172, Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman untuk memakan di antara rezeki yang baik-baik yang telah Dia anugerahkan kepada mereka. Manusia juga diminta untuk mengonsumsi makanan halal dari apa yang terdapat di bumi. Demikian titah yang terdapat dalam aurah al-Baqarah ayat 168.

Mengenai halal dan haram, dalam sebuah hadis riwayat Tirmizi dan Ibnu Majah, Rasulullah mengatakan, yang halal adalah segala yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya. Sedangkan yang tak dijelaskan-Nya adalah yang dimaafkan.


Tak hanya itu, MUI pun mengutip pendapat yang ada dalam Kitab al-Majmu Juz 2 halaman 573, yang menerangkan jika ada hewan memakan biji tumbuhan kemudian dapat dikeluarkan dari perut, jika tetap kondisinya dan sekiranya saat ditanam dapat tumbuh, tetap suci tetapi harus disucikan bagian luarnya karena terkena najis.


Ada juga rujukan pada Kitab Nihayatul Muhtaj Juz II halaman 284. Kitab ini mengungkapkan, jika biji itu kembali dalam kondisi semula dan sekiranya ditanam dapat tumbuh, statusnya adalah mutanajjis, bukan najis. Pendapat yang menegaskan kenajisannya kemungkinan bila biji itu tidak dalam kondisi kuat.


Sedangkan pendapat yang menegaskan mutanajjis, mempertimbangkan bahwa biji itu dalam keadaan tetap. Analog dengan biji-bijian adalah telur. Seandainya keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan dan diperkirakan tetap dapat menetas, hukumnya mutanajjis, bukan najis.

Pendapat lainnya tercantum dalam Kitab Hasyiyah I’anatu al-Thalibin Syarh Fath al-Mu’in Juz I halaman 82. Kitab ini menerangkan kalau ada hewan memuntahkan biji tumbuhan atau mengeluarkannya melalui kotoran, jika biji itu keras dan dapat tumbuh saat ditanam, statusnya mutanajjis.

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika.