Berbagai kesibukan ibu rumah tangga, baik mengurus buah hati atau membantu suami mencari nafkah, membuat waktu di dapur semakin sempit. Untuk efisiensi, menggunakan bumbu instan dibanding membuat sendiri menjadi pilihan. Ditambah masakan khas Indonesia yang dikenal menggunakan berbagai macam rempah-rempah.
Industri makanan pun berlomba-lomba memproduksi bumbu instan yang awalnya hanya sekadar penyedap rasa, kini merambah, seperti bumbu nasi goreng, kari, gulai, rendang, dan sebagainya.
Tidak hanya berupa bumbu kemasan, di pasar tradisional
juga ditemui berbagai macam bumbu siap pakai yang dikenal dengan bumbu giling.
Namun, baik bumbu kemasan maupun giling memiliki titik kritis yang perlu
diperhatikan dari segi kehalalan dan ketoyibannya.
Dosen Biokimia IPB Dr Anna P Roswiem mengatakan bahwa titik kritis bumbu instan yang perlu diperhatikan, yakni kandungan monosodium glutamat (MSG), disodium inosinat (IMP), dan disodium guanilat (GMP). Ketiga bahan tersebut biasanya diproduksi oleh industri makanan melalui proses fermentasi.
Dalam proses fermentasi diperlukan media untuk
pengembangbiakan mikroba untuk mempercepat hasil fermentasi. Biasanya media
pengembangbiakan mikroba menggunakan enzim yang terkandung dalam hewan.
Hewan yang digunakan tersebut harus jelas kehalalannya.
“Benar atau tidaknya menggunakan hewan yang
halal, jika menggunakan hewan yang halal, harus diketahui sesuai syariat tidak
cara penyembelihannya.
Selain dalam proses fermentasi, titik kritis lainnya, yaitu penambahan minyak yang sering ditemui dalam bumbu instan yang basah. Minyak yang digunakan harus jelas berasal dari minyak nabati atau minyak hewani.
Jika
dari minyak hewani, pun harus dari lemak hewan yang halal, bukan lemak haram
seperti babi, masyarakat tidak perlu khawatir karena selama ini industri
makanan di Indonesia telah memperhatikan kehalalan produk mereka.
Masyarakat tinggal mengamati label halal LPPOM
MUI di kemasan. Berbeda halnya jika bumbu instan ini ditemui di pasar
tradisional tanpa kemasan ataupun tanpa berlogo halal.
Dalam bumbu giling di pasar tradisional biasanya yang perlu diperhatikan sisi toyibnya. Banyak bumbu giling siap pakai yang tersedia di pasar tradisional, seperti bawang merah, cabai, bawang putih, jahe, kunyit, lengkuas, dan sebagainya.
Bumbu giling ini selain dibedakan dari rasa, juga dari
warnanya. Untuk menarik pembeli, biasanya mereka menggunakan bahan pewarna
makanan. Jika mereka menggunakan bahan pewarna makanan, tidak jadi
masalah, yang dikhawatirkan adalah pewarna yang digunakan dari pewarna tekstil, ini sangat berbahaya bagi
kesehatan.
Bumbu giling dan bumbu instan juga sering ditemukan
mengandung bahan pengawet atau benzoat, tetapi biasanya kadarnya masih rendah
dan kadar racunnya pun masih minim.
Namun, baik zat pewarna tekstil maupun benzoat yang
digunakan jika terlalu berlebihan maka akan berakibat kanker dan tumor. Ini
karena bahan tersebut mengandung merkuri dan logam-logam berat yang mengendap
dalam tubuh dan tidak dapat dicerna.
Begitu juga dengan MSG, bahan perasa gurih ini sering ditemui baik terdapat dalam bumbu instan maupun makanan instan. MSG yang masuk ke tubuh akan terurai menjadi natrium asama glutamat.
Asam glutamat merupakan asam amino yang sifatnya asam
kuat dan juga nonesensial. Makanan yang dimakan pun biasanya terdapat asam
amino nonesensial. Asam amino yang berlebih dapat mengubah standar pH yang ada
dalam darah.
Di dalam darah terdapat enzim yang harus bekerja sebagai
sistem buffer. Asam amino nonesensial yang berlebihan dapat mengubah pH menjadi
pH yang sangat asam.
Enzim yang tidak dapat bekerja akan mengganggu metabolisme tubuh. Sehingga, kesehatan pun menurun.
Begitu juga dengan IMP dan GMP merupakan turunan dari
basa purin. Basa purin ini memiliki asam urat. Jika terlalu banyak mengonsumsi
IMP dan GMP maka asam uratnya bertambah yang dikenal dengan penyakit asam urat.
Ahli Gizi Ati Nirwanawati SKM MARS mengatakan bumbu instan mengandung bumbu penyedap dan bahan pengawet dengan kadar garam yang tinggi. Konsumsi bumbu instan terlalu berlebihan akan memacu kerja tubuh sehingga mudah lelah.
Apalagi, jika konsumsi bumbu instan telah dimulai sejak
kecil maka biasanya sulit sekali untuk berhenti hingga lanjut usia. Bumbu
instan tidak baik digunakan, sebiasa mungkin kita mengonsumsinya maksimal hanya
dua hingga tiga kali setiap pekan.
Lebih baik tetap
menggunakan bumbu segar yang dibuat sendiri di rumah. Jika memang tidak
memiliki waktu banyak tetapi ingin masak makanan aneka rempah, dapat
menggunakan bumbu giling. Bumbu giling masih
lebih baik meskipun masih ada bahan pengawet, tetapi tidak lama. Bumbu giling
yang bagus biasanya bertahan selama tiga hari saja.
0 Komentar