Dalam proses metabolisme tubuh,
makanan yang dikonsumsi sangat menentukan energi dan kesehatan tubuh. Sedangkan
dari sisi agama, kehalalan makanan yang dikonsumsi merupakan hal pokok yang
sangat prinsip. Sebagai kewajiban agama yang telah diperintahkan Allah di dalam
Al-Qur'an, maupun
Hadits Nabi saw., dan menentukan keselamatan
hidup manusia, di dunia sampai akhirat.
Kalau pangan yang dikonsumsi
halal, insya Allah pasti selamat. Karena otak-pikiran dan energi gerak yang
dihasilkan akan selalu mengarah pada hal-hal yang halal juga, sebagai
amal-kebajikan. Tapi kalau haram niscaya akan membawa pada keburukan, sehingga
jadi celaka. Perhatikanlah makna hadits yang tegas menyatakan, “Setiap
tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama
baginya (lebih layak membakarnya).” (HR. At-Thabrani).
Dalam hadits yang lain berupa
wasiat Rasulullah saw., kepada shahabatnya, Ka’ab bin ‘Ujroh dengan
makna: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidak tumbuh daging yang
berasal dari makanan yang haram, kecuali neraka lebih berhak
untuknya.” (HR. At-Turmudzi).
Disebutkan oleh An-Nawawi dalam
kitabnya Al-Adzkar: telah diriwayatkan dalam kitab Ibnus Sunni dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, dari Nabi saw. bahwa ketika
makanan didekatkan kepadanya, beliau saw. biasa mengucapkan “Allahumma baarik lanaa fii maa rozaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban-naar,
bismillah” (Ya Allah berkahilah kami dengan rezeki yang telah
Engaku berikan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksa neraka). Do’a
tersebut biasa kita dengar dan dipraktekkan oleh kaum muslimin.
Agar Hidup Berkah
Subhanallah
wal-hamdulillah, doa ketika akan makan dari Hadits Nabi saw. ini biasa didawamkan sejak kecil, dan mengingatkan
sekaligus menekankan urgensi yang sangat mendasar. Yakni, agar dapat hidup
berkah, maka rezeki-makanan yang dikonsumsi harus halal. Sehingga dapat
terhindar dari siksa neraka. Sebaliknya, kalau tidak halal, tentu tidak akan
berkah, dengan dampak tidak selamat di dunia, sedangkan di akhirat diancam
siksa neraka. Na’udzubillahi min dzalik.
Dengan panduan yang telah
ditetapkan ini, maka sebagai orang beriman, kita harus berusaha mencari rezeki
dan mengkonsumsi makanan yang halal. Dalam satu Hadits Nabi saw. juga
disebutkan, mencari rezeki yang halal itu wajib hukumnya, diantara kewajiban
agama yang lainnya: “Tholabul halaali fariidhotun ba’dal
fariidhoh. (Mencari rezeki yang halal itu merupakan kewajiban setelah
ibadah fardhu).” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Bayhaqi).
Mencari
yang halal merupakan kewajiban atas setiap muslim, sebagaimana ditegaskan
oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin: “Ketahuilah
bahwa mencari yang halal adalah fardhu atas tiap muslim.” Karena demikianlah
perintah Allah dalam ayat-ayat-Nya dan perintah Rasul saw. dalam
hadits-haditsnya. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik
dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS.
Al-Baqarah: 168).
As-Sa’di menafsirkan:
“Ini adalah pembicaraan yang ditujukan kepada manusia seluruhnya mukmin maupun
kafir, bahwa Allah memberikan karunia-Nya kepada mereka yaitu dengan Allah
perintahkan mereka agar memakan dari seluruh yang ada di muka bumi berupa
biji-bijian, buah-buahan, dan hewan-hewan selama keadaannya halal. Yakni,
dibolehkan bagi kalian untuk memakannya, bukan dengan cara merampok, mencuri,
atau dengan cara transaksi yang haram, atau cara haram yang lain, atau untuk
membantu yang haram.” (Tafsir As-Sa’di).
Halal secara
Komprehensif
Lebih lanjut lagi, para Ulama
Tafsir menjelaskan ketentuan halal ini bersifat komprehensif, terdiri dari
empat aspek. Pertama Halal Li-dzatihi, halal secara dzatnya. Yakni bahwa semua
bahan makanan yang disediakan Allah di muka bumi adalah halal. Seperti
buah-buahan, sayur-sayuran dan hewan ayam, kambing, sapi, dll. Kecuali sedikit
yang secara dzatnya diharamkan. Sebagaimana disebutkan dalam ayat
Al-Quran: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi...” (QS.
5: 3).
Diharamkan juga secara dzatnya
adalah khamar. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (QS. 5: 90).
Kedua, halal karena prosesnya.
Seperti hewan yang disembelih harus sesuai dengan kaidah syariah. Perhatikanlah
kelanjutan ayat dalam surat Al-Maidah di atas: “...dan (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala...” (QS. 5: 3).
Zero Tolerance
Termasuk dalam hal ini adalah
proses pengolahan bahan pangan, tidak boleh bercampur dengan yang haram,
seperti babi. Para ulama di MUI telah menetapkan prinsip yang berkenaan
dengan babi dan segala bentuk turunannya ini: tidak ada toleransi sedikit pun,
“Zero Tolerance”. Maka semua produk turunannya juga menjadi haram.
Demikian pula dalam proses
penyembelihan hewan halal, tidak boleh bercampur dengan babi. Maka dalam
ketentuan MUI, rumah potong hewan (RPH) harus sepenuhnya untuk hewan yang
halal (fully dedicated for halal slaughtering). Tidak boleh di satu RPH
dimanfaatkan untuk menyembelih sapi, lalu menyembelih babi.
Ketiga, halal dalam
penyajiannya. Misalnya di restoran, tidak boleh menyajikan makanan yang halal
bersamaan atau berdekatan dengan makanan yang haram. Dalam hadits Nabi saw.,
orang beriman dilarang berada dalam satu majlis yang didalamnya dihidangkan
khamar. “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan
sekali-kali duduk pada suatu hidangan yang padanya diedarkan
khamr.” [HR. Ahmad].
Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah
saw. bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka janganlah ia duduk pada jamuan makan yang ada minum khamr
padanya." [HR. Ad-Darimiy].
Menurut ketentuan hukum positif
di Indonesia juga, ada peraturan pemerntah bahwa minuman keras tidak boleh
dijual secara bebas di sembarang tempat.
Merujuk pada nash ini, dengan
kaidah Qiyash atau analogi, maka di supermarket, umpamanya, tidak boleh ada
display daging sapi, misalnya, yang bersebelahan atau berdekatan dengan daging
babi, pada satu storage display. Meskipun wadah untuk kedua jenis daging itu
berbeda.
Dan keempat, halal cara
memperolehnya. Yakni dengan usaha atau kerja yang diperbolehkan dalam Islam.
Bukan yang dilarang agama. Berkenaan dengan cara memperoleh rezeki ini, agaknya
banyak orang yang lalai. Misalnya, uang-rezeki yang diperoleh dari korupsi atau
mencuri. Hal itu dilarang dan diharamkan dalam Islam. Maka makanan yang
dibeli-dikonsumsi dengan uang dari korupsi itu hukumnya menjadi haram pula,
meskipun berupa nasi, atau buah-buahan dll, yang jelas halal secara dzatiyah.
Perhatikanlah panduan-larangan
yang harus dihindarkan dalam cara mencari rezeki ini. Diantaranya dilarang
mengambil harta atau memakan rezeki dengan cara yang zhalim atau bathil: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil…” (QS. An-Nisaa’: 29).
Cara yang bathil dalam mencari
rezeki, seperti mengambil tanpa hak atau mencuri, dengan segala
bentuk-modusnya, termasuk korupsi, suap-menyuap, menipu, berbuat curang,
melakukan tindakan yang merugikan orang lain, mengurangi timbangan, dll.
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (QS. 5: 38).
“Kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (QS.
al-Muthaffifîn/83:1-6).
“Dan janganlah kamu dekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia
dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila
kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah
kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.” (QS. 6: 152).
“Dan Syu'aib berkata: "Hai
kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu
merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan
di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. 11: 85).
Dari Ibnu Umar, ia
berkata: “Rasulullah Saw. melaknat yang memberi suap dan yang menerima
suap.” [HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan
Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190].
Dalam riwayat Tsauban, terdapat
tambahan hadits: “Arroisy” (...dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279).
Hadits ini menunjukkan, bahwa
suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat dari Allah.
Dalam Hadits yang diriwayatkan
dari Al-Qasim bin Mukhaimirah ia berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Barangsiapa mendapatkan harta dengan cara yang berdosa lalu
dengannya ia menyambung silaturrahmi atau bersedekah dengannya atau menginfakkannya
di jalan Allah, ia lakukan itu semuanya maka ia akan dilemparkan dengan sebab
itu ke neraka jahannam.” (HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Marasiil, lihat
Shahih At-Targhib, 2/148 No. 1721).
Konsisten Halal Sangat Indah
Cara mendapatkan rezeki yang
halal ini tentu harus dipahami, dihayati dan diamalkan sepenuh hati oleh setiap
diri dan keluarga kita semua, sebagai anggota masyarakat. Tentu akan menjadi
sangat indah dan damai hidup masyarakat kita, kalau konsisten dengan konsumsi
halal. Sehingga semua perbuatan yang dilarang agama ini ditinggalkan penuh
kesungguhan. Tidak ada tipu-menipu, tidak berbuat curang, korupsi, suap-menyuap, mencuri, merampok, dan berbagai tindakan kriminal
lainnya. Termasuk juga penyalahgunaan jabatan dan wewenang, misalnya. Sebab
semua perbuatan pidana itu merupakan pangkal konflik, menimbulkan keresahan
bahkan kekacauan dalam kehidupan sosial.
Dengan demikian jelas, konsumsi
yang halal secara komprehensif memiliki pengertian dan cakupan yang sangat
luas. Seluas kehidupan kita di dunia ini. Maka sangat tepat kalau
disebut, “Halal is my life”. Sehingga jelas pula hasilnya, konsumsi yang
halal akan dapat membentuk kehidupan masyarakat yang aman dan damai.
0 Komentar