اللَّهُمَّ
اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan
yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan
karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no.
3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut
At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini
sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).
Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah
Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah
berkata,
وَالْقَلِيلُ
مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ
اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang halal itu
lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya
cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa,
28:646)
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat,
namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ
عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ
حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana
manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha
yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya
dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam
hadits,
تَعِسَ
عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ
رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah wahai budak dinar,
dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna
hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak
diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَهَذَا
هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ
إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا
عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ
اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya
dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak
memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida
terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai,
cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa
yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)
Ada pula
yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini
disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah
mengatakan,
مَنْ
اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ
ارْتَطَمَ
“Barangsiapa
yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus
dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus
terjerumus.”
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu juga mengatakan,
لَا
يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
“Janganlah
seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk
riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)
Kalau
halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini
kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.
Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan
mengikuti langkah setan.
Dalam
surah Al-Baqarah disebutkan,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’
Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika
langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan
seterusnya:
Langkah
pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan
Rasul-Nya.
Langkah
kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).
Langkah
ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).
Langkah
keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
Langkah
kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak
ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.
Langkah
keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada
amalan yang lebih afdal.
Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh
Dalam
ayat disebutkan,
يَا
أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya
Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51).
Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal
sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was
salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh.
Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang
menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).
Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.
Sebagaimana
disebutkan dalam ayat,
وَتَرَىٰ
كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ
السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
لَوْلَا
يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ
وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan kamu akan melihat
kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan
dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan
itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang
mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan
bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya.
Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,
3:429.
Ayat
berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا
عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal
Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’:
160-161)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada
kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka
pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan
mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, 3:273).
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan
akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ،
شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi
hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau
menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no.
7319)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى
لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti
jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi
sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob
(yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para
sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan
Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no.
2669).
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam
ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara.
Lihat Majmu’ah Al-Fatawa,
27: 286.
Keempat:
Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.
Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
يَا
كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ
كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh,
sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan
berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh
Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Kelima: Doa sulit dikabulkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ
بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ
يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا
رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ
فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه
‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu
baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya
Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada
para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan
yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah
Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang
baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian;
rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas
berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya
haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin
doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Empat
sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:
1.
Keadaan dalam perjalanan
jauh (safar).
2.
Meminta dalam keadaan
sangat butuh (genting).
3.
Menengadahkan tangan ke
langit.
4.
Memanggil Allah dengan
panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama
dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang
memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang
Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.
Semoga Allah mengaruniakan
kepada kita rezeki yang halal.
0 Komentar