Bekicot merupakan salah satu hewan
yang biasa ditemukan di tempat-tempat yang lembab dengan ciri khas memiliki
tempurung yang berfungsi untuk melindungi dirinya. Tempurung bekicot ini selalu
menyertainya di mana pun hewan ini berjalan, seperti halnya yang juga terjadi
pada siput dan kura-kura.
Akhir-akhir ini ramai terjadi di
masyarakat penjualan daging bekicot. Umumnya hewan ini dimasak dalam bentuk
sate, sehingga lebih dikenal dengan nama “sate bekicot”.
Masyarakat awam merespon fenomena
tersebut dengan sikap yang beda-beda. Ada yang membeli dan mengonsumsinya,
tanpa peduli apakah hewan bekicot ini halal atau tidak, ada pula yang memilih
untuk tidak membeli karena belum tahu status kehalalan hewan bekicot, bahkan
ada pula yang menganggap bahwa “sate bekicot” merupakan salah satu objek mata
pencaharian tersendiri yang dapat mencukupi keberlangsungan hidupnya dan
keluarganya.
Sebenarnya, halal atau haramkah
mengonsumsi bekicot menurut hukum Islam?
Bekicot dalam istilah Arab biasa
dikenal dengan nama halzun. Hewan ini oleh para ulama dikategorikan sebagai
hewan yang menjijikkan (mustakhbas),
sehingga termasuk hewan yang tidak halal alias haram.
Hal demikian seperti yang dijelaskan
dalam kitab Hayat al-Hayawan
al-Kubra:
Hewan ini mengeluarkan sebagian
badannya dari dalam tempurung kerangnya, lalu berjalan ke kanan dan kiri untuk
mencari benda yang dapat ia makan. Ketika dia merasa berada di tempat yang
lembut dan basah maka ia akan membeberkan diri pada tempat itu. Dan ketika dia
merasa berada di tempat kasar dan kering maka dia akan mengurung dan masuk
kedalam tempurung kerang tersebut karena khawatir dari sesuatu yang menyakiti
tubuhnya. Ketika dia berjalan maka rumahnya juga bersamanya.
Hukum mengonsumsi hewan ini adalah
haram, karena hewan ini dianggap hewan yang menjijikkan (menurut orang Arab).”
(Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat
al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 234)
Berdasarkan referensi di atas, maka
mengonsumsi hewan bekicot adalah hal yang diharamkan sebab bekicot tergolong
hewan yang menjijikkan menurut pandangan orang Arab. Sehingga meskipun sebagian
orang ada yang menganggap bekicot sebagai hewan yang normal untuk dikonsumsi
dan dianggap tidak menjijikkan, maka penilaiannya sama sekali tidak
mempengaruhi terhadap keharaman mengonsumsi hewan bekicot secara umum.
Ketika hewan tersebut diharamkan,
maka hukum menjual sate bekicot, seperti halnya yang biasa terjadi di
masyarakat juga merupakan hal yang diharamkan, sebab akan mengantarkan orang
lain untuk melakukan keharaman (i’anah
alal maksiat), berupa mengonsumsi hewan yang haram dimakan.
Pendapat di atas merupakan pandangan
dalam mazhab Syafi’i, seperti halnya yang dianut oleh mayoritas Muslim di
Indonesia. Sedangkan ketika menelisik status daging bekicot dengan berpijak
pada mazhab lain, rupanya masih terdapat ulama yang berpandangan bahwa bekicot
bukanlah hal yang diharamkan, misalnya seperti dalam pendapat Imam Malik
seperti yang dikutip dalam kitab al-Mudawwanah
al-Kubra:
Namun meski begitu, baiknya bagi kita
agar tetap berpijak pada pendapat mazhab Syafi’i seperti yang dianut oleh
umumnya Muslim di Indonesia. Sebab dengan tidak mengonsumsi bekicot berarti
seseorang konsisten dalam mengamalkan ajaran mazhabnya (mazhab Syafi’i)
sekaligus sudah menjalankan husnul
khuluq, yaitu adaptif terhadap masyarakat sekitar yang juga
berpandangan bahwa bekicot itu haram—sehingga masyarakat tidak memberikan nilai
buruk pada dirinya.
Pendapat ulama yang memperbolehkan
mengonsumsi bekicot baiknya ditempatkan dalam tataran yang sesuai, misalnya
ketika dalam keadaan terpaksa seperti tidak ada makanan lain selain hewan
bekicot. Dalam keadaan mendesak tersebut ia dapat berpijak pada pendapat dalam
mazhab Maliki seperti yang dijelaskan di atas. Wallahu a’lam.
Penulis : Ustadz Ali Zainal Abidin,
pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Rambipuji Jember
Sumber : https://islam.nu.or.id/post/read/103237/hukum-makan-bekicot
0 Komentar