Ramadhan yang dinanti sudah tiba, alhamdulillah Ramadhan kali ini dimulai tanggal 24 April 2020, Dalam keadaan ditengah wabah covid-19. Namun apapun keadaannya bisa berjumpa dengan Ramadhan adalah sebuah keadaan yang harus disyukuri, lama kita menantikan bulan penuh keberkahan ini.
Dari dulu sekali, entah kapan dimulai, hingga sekarang ini ritual shalat tarawih di masjid-masjid kita di Indonesia hampir mempunyai kesamaan, mulai dari ramainya jamaah ibu-ibu dan anak-anak, jumlah rakaat yang berkisar antara delapan hingga dua puluh, setiap jedah dua rakaat ada shalawatan, juga ada kultumnya, doa bersama, hingga akhirnya ditutup dengan bersama melafazkan niat puasa.
Rukun Puasa
Seluruh ibadah yang dilakukan pada dasarnya membutuhkan niat, termasuk urusan ibadah puasa. Selama ini kita mengetahui bahwa rukun puasa itu hanya dua hal; niat dan imsak yaitu menahan diri dari segala yang bisa membatalkan puasa dari mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Dalam mazahab Syafi’i umumnya niat itu diartikan dengan:
قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ
“Bermaksud untuk suatu hal disertai dengan perbuatanya”
Pentingnya niat dalam segala ibadah ini sehingga amalan yang dikerjakan tidak dilandasi dengan niat diangap sebagai amalan yang sia-sia, dalam artian tidak mendapatkan nilai ibadah disisi Allah SWT, untuk itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan:
إِنَّمَا الأَعْماَلُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلٍّ امْرِءٍ مَا نَوَى
”Sungguh setiap pekerjaan itu bergantung dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari Muslim)
Niat Puasa Wajib Dimulai Sejak Malam
Memang mayoritas ulama termasuk didalamnya madzhab As-Syafi’i mensyaratkan khusus untuk niat puasa wajib, seperti puasa ramadhan, harus sudah ada semenjak malam dan sebelum subuh. Dalam istilah fikihnya sering disebut dengan istilah tabyit an-niyyah/membermalamkan niat, maksudnya berniat dimalam hari sebelum subuh. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat Hafshah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
”Barang siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzy, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, dan lainnya).
Memang dikalangan para ahli, hadits ini penuh dengan catatan terutama terkait apakah hadits ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau tidak. Namun pada intinya ada jalur yang menilai hadits ini hanya sampai kepada Hafshah saja, tapi sebagian jalur periwayatan lainnya menilai bahwa hadits ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sederhananya jika ada riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan menilai bahwa hadits ini sampai maka selaku penguna hadits kita bisa menyandarkan lewat riwayat yang sampai.
Namun khusus untuk puasa sunnah maka syarat ini tidak berlaku, karenanya walaupun matahari sudah terbit jika perut belum diisi oleh makanan dan minuman semenjak subuh maka boleh pada saat itu kita berniat untuk puasa sunnah. Sandarannya adalah cerita Aisyah ra berikut:
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ ذَاتَ يَوْمٍ فقال : هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاء ؟ فقُالْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنيِّ إِذاً صَائِم
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW datang kepadaku pada suatu hari dan bertanya, “Apakah kamu punya makanan?”. Aku menjawab, ”Tidak”. Beliau lalu berkata, ”Kalau begitu aku berpuasa”. (HR. Muslim)
Lebih lanjut, khususnya dalam madzhab As-Syafi’i, dalam kitab Al-Majmu’ jilib 6 hal 248-250 dijelaskan beberapa poin penting perihal niat:
Tidak sah puasa ramadhan atau puasa wajib lainnya juga puasa sunnah kecuali dengan niat.
Niat puasa ramadhan wajib setiap malam untuk setiap harinya.
Memasang niat di malam hari (tabyit an-niyah) merupakan syarat sahnya niat untuk puasa ramadhan dan puasa wajib lainnya.
Jika seseorang berniat puasa beberapa saat sebelum magrib atau berniatnya setelah fajar/subuh maka niatnya tidak sah, namun jika niatnya bertepatan dengan fajar masih dianggap memenuhi kriteria tabyit an-niyyah.
Waktu berniat di malam hari itu selama rentang waktu malam, yaitu waktu setelah terbenamnya mata hari/ setelah magrib, hingga terbit fajar, sehingga dinilai sah jika setelah sholat magrib niat sudah dipasang untuk puasa esoknya.
Jika sudah memasang niat diawal malam, maka tidak mengapa untuk tetap makan, minum, atau berhubungan suami istri, karena yang demikian tidaklah membatalakan niat puasa yang sudah diapasang untuk esok harinya.
Melafazkan Niat
Seluruh ulama sepakat bahwa yang namanya niat tempatnya ada di hati. Namun yang menjadi perbedaan para ulama itu terkait melafazkan niat, antara mustahab/disukai atau makruh/kurang disukai. Perbedaan ini setelah mereka semua sepakat bahwa niat itu wajib ada didalam hati dan tidak wajib dilafazkan. Bahkan Imam As-Syafi’i seperti yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, jiid 6, hal. 248 menegaskan:
ومحل النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف، ولا يكفي عن نية القلب ولكن يستحب التلفظ مع القلب.
“Tempat niat itu adalah hati dan tidak disyaratkan diucapkan dengan lidah, dan tidak cukup dengan niat hati, namun dianjurkan/disukai untuk melafazkan (dengan lidah) bersamaan dengan niat di hati.”
Perbedaan ini sebenarnya sudah sangat lama, dan masing-masing pengikut pendapat harus memahaminya sesuai dengan porsinya. Bagi masyarakat yang berfaham bahwa melafazkan niat sudah menjadi kebiasaan mereka, jangan sampai menjadikan lafaz niat seakan-akan bagian dari rukun, padahal tidak ada ulama yang mewajibkannya, sehingga menilai bahwa tidak sah ibadah mereka yang tidak melafazkan niat.
Terlalu banyak penulis temui dilapangan bahwa ada sebagian masyarakat yang belum mengerjakan ibadah tertentu lantaran mereka mejawab karena belum bisa/belum hafal lafaz niatnya. Atau pernah sekali waktu penulis mendengar bahwa sebagian jamaah meragukan keabsahan shalatnya imam masjid hanya karena mereka tidak mendengar imam melafazkan niat shalat lewat mikrofon kecil yang menempel didada imam.
Namun bagi yang memakruhkan juga harus dalam porsinya, karena walau bagaimanapun sekedar melafazkan niat tidak mengurangi sedikitpun nilai yang ada didalam hati, mereka yang melafazkan niat itu juga bermanfaat setidaknya untuk pribadi mereka yang kadang dihinggapi keraguan apakah sudah berniat atau belum, rasanya niat dihati baru mantap jika dalam waktu yang bermasaan mereka juga melafazkan.
Redaksi Niat dan Lafaz Niat Puasa Ramadhan
Masih didalam kitab Al-Majmu’, jilid 6, hal. 253 didapat penjelasan tambahan perihal niat puasa dalam madzhab As-Syafi’i, bahwa tidak kalah pantingnya selain niat dimalam hari yang dinilai mustahab/disukai untuk dilafazkan, niat puasa juga yang harus di ta’yin/ditentukan.
Untuk itu ulama Syafiiyah menawarkan tatacara berniat yang dimaksud untuk kemudian inilah yang dipakai dalam redaksi lafaz niat yang selama ini sering kita dengar dimasjid-masjid atau bahkan di madrasah-madrasah yang ada di negri kita khususnya dan negri yang mayoritas pendudukanya bermadzhab Syafi’i pada umumnya.
Imam An-Nawawi menuliskan bahwa:
صِفَةُ النِّيَّةِ الْكَامِلَةِ الْمُجْزِئَةِ بِلَا خِلَافٍ أَنْ يَقْصِدَ بِقَلْبِهِ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ لِلَّهِ تَعَالَى
“Bentuk niat yang sempurna adalah dengan sengaja hati bermaksud berpuasa esok hari dalam rangka menunaikan fardhu Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala”.
Dari sini hadirlah redaksi lafaz niat puasa yang sering diucapkan:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لله تَعَالىَ
“Sengaja aku berpuasa untuk esok hari dalam rangka menunaikan kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ini karena Allah Ta’ala”.
Kesimpulannya -dalam husnu zhonnya- bahwa tradisi melafalkan bersama lafaz niat puasa ramadhan itu tidak lepas dari pedoman niat berpuasa dalam pandangan madzhab As-Syafi’i sesuai dengan penjelasan singkat diatas, walaupun tidak juga persis diajarkan untuk melafalkannya secara bersama juga tidak diajarkan persis untuk diucapkan setelah shalat tarawih.
Namun demi kemaslahatan bersama, akhirnya para kiayi mengambil inisiatif untuk dibaca bersama setelah shalat tarawih takut nanti sebagian masyarakat lalai atau lupa perihal niat ini, mengingat keabsahan puasa ramadhan pertama-tama dinilai dari niatnya. Dengan tetap meyakini bahwa walaupun tidak diucapkan setelah shalat tarawih atau bahkan tidak ucapkan sama sekali, yang penting dari sejak malam dan sebelum subuh hati kita sudah berniat untuk berpuasa, itu sudah dinilai sah.
Semoga Allah menerima amal ibadah puasa kita, dan semoga Allah menganugerahkan ketaqwaan kepada kita semua. Aamiin.
Wallahu A'lam Bisshawab
0 Komentar