Halal ber
Halal berasal dari bahasa Arab yang berarti diperbolehkan atau sah menurut hukum (Nakyinsige et al., 2012; Denyingyhot et al., 2017). Kaum muslim disyariatkan untuk hanya mengkonsumsi makanan yang sifatnya halal dan thayyib serta menjauhi yang haram. Perintah mengkonsumsi makanan halal secara tegas dijelaskan dalam suci Al Qur’an seperti pada surah Al Baqarah ayat 168 dan 173 serta Al-Maidah ayat 3 dan 88. Selain Al-Quran dan Hadist, fatwa MUI juga menjadi dasar diperbolehkan atau tidaknya suatu bahan dikonsumsi oleh umat Islam di Indonesia.
Kata ”halal” dan ”haram” merupakan istilah Alquran dan ini
digunakan dalam pelbagai tempat dengan konsep berbeda, dan sebagiannya
berkaitan dengan makanan dan minuman. Kedua kata tersebut juga digunakan dalam
Hadis Nabi Saw. Halal secara bahasa, menurut sebagian pendapat, berasal dari
akar kata الل yang artinya (البØØ©) artinya sesuatu yang dibolehkan menurut
syariat. AlJurjani menulis, kata ”halal” berasal dari kata الل yang berarti ” terbuka”. Secara istilah halal berarti setiap
sesuatu yang tidak dikenakan sanki penggunaannya atau sesuatu perbuatan yang
dibebaskan syariat untuk dilakukan. Abû Muhammad al-Husayn ibn Mas‘ûd
al-Baghawî (436-510 H) dari mazhab Syaf’i, berpendapat kata “halâl” berarti
sesuatu yang dibolehkan oleh syariat karena baik. Sementara ‘Abd al-Rahmân ibn
Nâshir ibn alSa’dî’ ketika mendifnisikan kata “halâl” menyorotinya kepada
bagaimana memperolehnya, bukan dengan cara ghashab, mencuri, dan bukan sebagai
hasil muamalah yang haram atau berbentuk haram.
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan
halal adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat untuk (i) dilakukan, (ii)
digunakan, atau (iii) diusahakan, karena telah terurai tali atau ikatan yang
mencegahnya atau unsur yang membahayakannya dengan disertai perhatian cara
memperolehnya, bukan dengan hasil muamalah yang dilarang (Ali, 2016).
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk melindungi
masyarakat muslim dari peredaran produk tidak halal adalah dengan menerbitkan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 mengenai Jaminan produk halal. UU ini
bertujuan memberi perlindungan hukum bagi konsumen umat Islam terhadap
ketidakpastian penggunaan berbagai produk makanan dan minumam yang sifatnya
halal baik berbentuk barang maupun jasa. Salah satu wujud nyata pelaksanaan UU
ini adalah dengan kebijakan pemberian sertifikat halal.
Sertifikat halal adalah fatwa MUI yang secara tertulis menyatakan
kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam (Nurrachmi, 2017; Syafrida,
2017). MUI bahkan mengharuskan semua produk halal yang beredar di seluruh
masyarakat wajib mencantumkan label sertifikasi halal pada. Oleh karena itu,
saat ini kajian untuk menguji kehalalan produk tengah gencar dilakukan. Langkah
pemerintah dalam memberikan logo halal pada berbagai produk yang dipasarkan
kepada masyarakat merupakan suatu langkah penting karena saat ini masyarakat
lebih selektif terhadap produk-produk yang mereka konsumsi.
Keberadaan logo halal pada suatu produk akan membuat konsumen
muslim merasa yakin bahwa produk-produk tersebut memang telah diproduksi dan
disajikan sesuai dengan syariat Islam. Adapun masa berlakunya sertifikat halal
ini adalah selama dua tahun. Selama waktu tersebut, produsen diharuskan terus
meyakinkan pihak MUI dan konsumen terutama umat muslim bahwa tingkat kehalalan
dari produk yang dikeluarkan akan selalu terjamin mutu dan kehalalannya
(Nurrachmi, 2017; Waharini & Purwantini, 2018).
Produk halal dipilih oleh konsumen muslim sebagai salah satu bentuk
ketaatan terhadap Syariah Islam. Meskipun identik dengan Islam, bukan berarti
konsumen produk yang sifatnya halal hanya berasal dari konsumen umat Islam
saja. Konsumen produk halal dari negara dengan penduduk mayoritas non muslim
akhir- akhir ini mengalami peningkatan dengan angka signifikan (Waharini &
Purwantini, 2018).
Tidak sedikit dari masyarakat non muslim yang juga lebih memilih
mengkonsumsi produk halal karena dinilai lebih berkualitas dari berbagai aspek
seperti kesehatan dan keamanan. Banyak negara non Islam merupakan importir
berbagai macam produk bagi negara muslim sehingga halal juga menjadi perhatian
bagi mereka. Selain itu, mereka juga harus menyediakan produk-produk halal bagi
para turis umat muslim yang datang ke negara mereka. Faktor-faktor tersebut
menjadikan kehalalan produk sebagai salah satu isu penting yang gencar dikaji
(Nakyinsige et al., 2012; Hidayat, 2015; 2012; Nurrachmi, 2017; Denyingyhot et
al., 2017).
Makanan merupakan salah satu poin penting dan banyak dibahas
mengenai aturannya dalam konsep kehalalan. Kehalalan produk makanan yang saat
ini beredar di masyarakat merupakan hal penting yang harus diperhatikan
(Syafrida, 2017; Waharini & Purwantini, 2018). Allah dalam Al-Quran
mensyariatkan umat Islam untuk hanya mengkonsumsi makanan halal dan sekaligus
melarang umat Islam untuk mengkonsumsi makanan haram seperti yang tercantum
dalam Surah Al-Baqarah: 168.
Terdapat beberapa bahan yang diharamkan untuk dikonsumsi
berdasarkan Surah AlMaidah: 3 dan Al-Baqorah: 173 diantaranya berupa darah,
bangkai, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah, hewan yang
dipukul, tercekik, yang ditanduk, yang jatuh, serta yang mati karena diterkam
binatang buas kecuali yang sempat disembelih, dan yang disembelih atas nama
berhala. Selain Al-Quran dan Hadist, fatwa MUI menjadi acuan dalam permasalahan
terkait halal dan haramnya suatu makanan yang boleh dikonsumsi masyarakat
muslim Indonesia.
Menurut Zulaekah & Yuli (2005) menjelaskan bahwa makanan
dikatakan halal apabila memenuhi hal sebagai berikut:
1. Bukan berasal atau mengandung bahan dari binatang yang bagi umat
muslim dilarang menurut syariah untuk mengkonsumsinya atau berasal dari
binantang yang tidak disembelih menurut hukum syariah.
2. Tidak mengandung komposisi yang hukumnya najis menurut hukum
Islam.
3. Tidak disajikan atau diproses dengan bahan ataupun peralatan
yang terkena najis menurut hukum Islam.
4. Pada saat proses pengadaan, pembuatan, pengolahan, dan
penyimpanan tidak berdekatan atau bersentuhan dengan bahan yang hukumnya najis.
Terdapat beberapa bahan yang diharamkan untuk dikonsumsi
berdasarkan Surah Al-Maidah: 3 dan Al-Baqorah: 173 diantaranya berupa darah,
bangkai, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah, hewan yang
dipukul, tercekik, yang ditanduk, yang jatuh, serta yang mati karena diterkam
binatang buas kecuali yang sempat disembelih, dan yang disembelih atas nama berhala.
Babi merupakan hewan yang secara jelas disebutkan dilarang dalam Al-Quran untuk
dikonsumsi meskipun dalam kadar sedikit. Menurut Kulsum (2018) dalam fatwa MUI
berdasarkan Qaidah fiqhiyyah menjelaskan bahwa ”Manakala bercampur antara yang
halal dengan yang haram, maka dimenangkan yang haram”.
Mengonsumsi makanan halal adalah suatu kewajiban umat Islam yang
prosesnya bernilai ibadah, manifestasi sebuah rasa syukur kepada Allah atas
segala nikmat pemberian-Nya, memberikan banyak kebaikan atas kehidupan umat
musim di dunia maupun akhirat, dan merupakan sebuah implementasi ikrar untuk
mencapai keridhoan-Nya. Dan sebaliknya, apabila mengonsumsi makanan haram maka
dapat mendatangkan keburukan, suatu kemaksiatan, bentuk ketundukan kepada
setan, dan telah melanggar ajaran Islam.
Makanan merupakan suatu kebutuhan fundamental yang dapat memberikan
pengaruh kepada pengonsumsinya baik secara fisik bahkan psikis manusia. Hal
tersebut disebabkan karena makanan yang masuk kedalam tubuh kita akan dicerna
oleh system pencernaan, lalu diserap gizinya, dan hasilnya diedarkan ke seluruh
tubuh manusia untuk memenuhi segala kebutuhan tubuh. Hal ini menjelaskan bahwa
makanan yang telah dimakan dan diproses dalam sistem pencernaan akan menyebar
dan mengalir dari ujung rambut sampai ke ujung kaki menjadi energi yang
digunakan untyk menjalankan aktivitas manusia (Faidah, 2017).
Makanan Halal harus memenuhi prinsip kenyamanan dan keamanan bagi
pengonsumsinya. Menurut Supriyatna et al. (2018) Manfaat dari sebuah penelitian
berbasis pendekatan sains dapat digunakan sebagai referensi yang jelas baik
oleh peneliti lanjutan maupun masyarakat secara umum. Dalam khasanah ilmu
(tsaqafah) Islam, hukum asal segala sesuatu (benda) yang diciptakan Allah
adalah halal dan mubah. Tidak ada satu pun yang haram, kecuali ada keterangan
yang sah dan tegas tentang keharaman bahan tersebut. Hal ini berbeda dengan
kaidah perbuatan yang menuntut setiap apapun yang dilakukan manusia dalam hal
ini seorang muslim harus terikat dengan hukum syara’ (wajib, sunah,
mubah/boleh, makruh, haram).
Sebagaimana kaidah fiqh yang menyatakan “Hukum asal bagi setiap
benda/barang adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya” dan
“Hukum asal bagi perbuatan manusia/muslim adalah terikat dengan hukum
syara’/Islam”. Kedua kaidah tersebut menyatakan bahwa hukum asal dari benda
adalah halal jika tidak ada dalil yang dengan tegas mengharamkannya dan hukum
asal dari perbuatan adalah terikat dengan aturan Islam (Mardesci, 2013).
0 Komentar