Konsep tawakkal atau berserah diri kepada Allah jelas merupakan ajaran Islam. Namun demikian, Islam juga jelas mengajarkan agar sikap tawakkal ini juga mesti dibarengi dengan usaha nyata. Fatalisme berlebihan adalah hal yang tidak sejalan dengan ajaran untuk berusaha ini.


Dalam kondisi berjangkitnya pandemi Covid-19 saat ini misalnya, fatalisme berlebihan masih nampak di antara sebagian Muslim tanah air. Ungkapan ‘takutlah kepada Allah, jangan pada Korona’ tidak jarang kita baca dan dengar akhir-akhir ini. Dari ungkapan barusan, logika yang muncul adalah bahwa cara melawan pandemi adalah dengan menyerahkan nasib sepenuhnya kepada Allah.


Persoalan pembagian porsi antara jabr (keterpaksaan) dengan ikhtiyar (kehendak bebas) manusia telah menjadi bahan perdebatan dalam Islam sajak masa lampau dan akan terus ada di masa depan. Baik dalil tentang qadr (suratan Tuhan) maupun dalil tentang perintah berusaha, keduanya sama-sama ada.  Dalam sejarah teologi Islam, orang mengenal aliran Jabariah yang meyakini kemutlakan suratan Allah secara ekstrim di satu kutub dan aliran Qadariah yang meyakini kemerdekaan perbuatan manusia secara ekstrim di kutub yang lain.


Aliran Mu’tazilah yang seirama dengan pemikiran Qadariah dalam urusan free will atau kehendak bebas bahkan pernah menjadi ideologi resmi Dinasti Abbasiah. Buah dari ideologi ini adalah kemajuan dari filsafat dan ilmu pengetahuan yang membawa pada hadirnya Masa Keemasan Islam. Namun sisi kelam dari masa ini adalah persekusi terhadap para agamawan Islam yang tidak sependapat dengan ideologi penguasa dalam beberapa persoalan teologis.


Ada satu buku yang sudah hampir dua dasawarsa diterbitkan, tapi masih punya relevansi terkait isu teologi di Indonesia. Buku ini berjudul Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A Critical Survey (2001), di mana Fauzan Saleh memaparkan bahwa saat ini aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Sunni adalah yang dominan di kalangan muslim dunia, tak terkecuali di Indonesia. Meski ada variasi pemikiran dalam aliran Sunni, namun aliran ini diidentikkan dengan teologi Asy’ariah rintisan Imam Abu Hasan Al Asy’ari ( w. 324 H / 936 M). Identifiksai ini bisa dimaklumi adanya karena sampai saat ini teologi Asy’ariah adalah corak pemikiran yang dominan di kalangan Sunni. 


Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang dengan gamblang menyatakan teologi Asy’ariah dan Maturidiah sebagai ajaran yang dianut dalam hal akidah. Pada perjalanannya, teologi Maturidiah rintisan Abu Mansur Al Maturidi (w. 333 H / 944 M) relatif lebih kecil persebarannya akibat minimnya rujukan referensi. Kedua corak teologi ini, baik Asy’ariah maupun Maturidiah, ditolak oleh kaum Sunni puritan karena dianggap hal baru yang tidak otentik bersumber dari ajaran Rasulullah Muhammad SAW. 


Secara historis, teologi Asy’ariah hadir dari pergumulan sang perintis dengan teologi Mu’tazilah yang sangat rasional dan mengedepankan kehendak bebas. Karena lahir di babakan sejarah ini, teologi Asy’ariah kemudian kerap disalahmaknai sebagai anti rasionalitas bahkan sebagai pro determinisme dan fatalisme. Padahal sebenarnya, teologi Asy’ariah membawa semangat moderasi atau wasathiyah, termasuk moderasi antara teks dan nalar juga antara jabr dan ikhtiyar. 


Sayangnya lagi, salah mendudukkan teologi Asy’ariah sebagai sumber legitimasi sikap deterministik maupun fatalistik juga dilakukan oleh banyak pengikutnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa semestinya para ulama penerus tradisi teologi ini harus terus berjuang merevitalisasi ajaran moderasi atau kesetimbangan yang dikandungnya. 


Sebenarnya dalam bahasa sehari-hari, kita akrab bergaul dengan istilah-istilah yang merujuk pada konsep kesetimbangan tersebut. Kata-kata semisal ‘usaha dan doa’ atau ‘berusaha dan bertawakkal’ atau ‘manusia wajib berusaha, Allah yang menentukan’ adalah contohnya. Tidak melalui para ahli teologi Islam atau Ilmu Kalam, rumusan kesetimbangan ini lahir melalui pengalaman hidup masyarakat sehari-hari dalam merefleksikan takdir dan usaha.