Sebagai negara dengan populasi terbesar muslim di dunia yang mencapai 87 persen, Indonesia menjadi pasar halal  yang besar bagi produk-produk halal. Oleh karenanya menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia dalam menyediakan produk-produk di dalam negeri yang tersertifikasi halal. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi penduduknya, terutama muslim.


Kehadiran negara dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat menjadi penting, maka dibuatlah undang-undang dan peraturan lainnya mengenai sertifikasi halal tersebut.


Pemerintah bersama DPR telah menyusun Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang kemudian dirincikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Selain itu, diterbitkan pula Keputusan Menteri Agama Nomor 982 tahun 2019.


Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH)


Setelah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 September 2014, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) telah disahkan oleh Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 17 Oktober 2014. Selanjutnya, pada hari yang sama, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Amir Syamsudin telah mengundangkan UU tersebut sebagai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.


Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal (Pasal 4). Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).


Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH itu, menurut UU ini, dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Selain BPJPH, pada UU JPH tersebut juga mengatur tentang peran dan fungsi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sertifikasi halal; juga peran Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang memeriksa dan/atau menguji kehalalan suatu produk (Pasal 1 ayat 8). UU JPH ini berlaku lima tahun sejak ditetapkan (17 Oktober 2019) seperti yang disebutkan pada Pasal 67 ayat 1.


Selain itu, terdapat juga ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan sertifikasi halal di Indonesia.


Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal


Untuk menjabarkan peraturan yang terdapat pada pasal-pasal yang terkandung dalam UU Nomor 33 tahun 2014 tentang JPH, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pada Oktober 2019.


Dalam PP ini dijelaskan secara rinci mengenai tugas, wewenang dan fungsi dari institusi-institusi yang terkait dalam sertifikasi halal, yaitu: BPJPH, MUI dan LPH. BPJPH sebagai regulator sertifikasi halal di Indonesia. Sedangkan MUI mempunyai peran dalam sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk dan akreditasi LPH.


Sedangkan LPH sendiri, mempunyai tugas melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk.


Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 tentang Pelayanan Sertifikasi Halal


Untuk memperjelas pelaksanaan pelayanan sertifikasi halal di Indonesia, Kementerian Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 982 pada 12 November 2019.


Sebagaimana diketahui, pada KMA No. 982 ini merupakan diskresi dalam pelaksanaan pelayanan sertifikasi halal. Pada KMA tersebut dijelaskan mengenai tugas dan wewenang dari pihak-pihak penyelenggara layanan jaminan produk halal, BPJPH, MUI, dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) selaku salah satu LPH.


Adapun tugas dan wewenang ketiga badan tersebut antara lain:

a. BPJPH berwenang dalam pengajuan permohonan sertifikasi halal  dan penerbitan sertifikat halal.

b. MUI berwenang dalam pengkajian ilmiah terhadap hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Selain itu juga, MUI berwenang dalam pelaksanaan sidang fatwa halal.

c. LPPOM MUI berwenang dalam pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk


Selain menjelaskan tugas dan fungsi ketiga lembaga, KMA ini juga mengatur mengenai pembiayaan layanan sertifikasi halal.


Pada KMA disebutkan bahwa:

a. Layanan sertifikasi halal dikenakan tarif layanan yang dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal;

b. Besaran tarif layanan sertifikasi halal ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

c. Dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai besaran tarif layanan sertifikasi halal belum ditetapkan, oleh karenanya, besaran tarif layanan sertifikasi halal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada MUI dan LPPOM MUI yang memberikan layanan sertifikasi halal sebelum ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan terkait jaminan produk halal berlaku.


Pada poin terakhir KMA 982 tahun 2019 juga disebutkan bahwa ketentuan teknis pelaksanaan layanan sertifikasi halal akan dibahas dan disepakati dalam bentuk Perjanjian Kerja Sama antara BPJPH, MUI dan LPPOM MUI. (Lampiran lengkap Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 982 Tahun 2019.


Sumber : http://www.halalmui.org/mui14/main/detail/sejarah-perundang-undangan-pelayanan-sertifikasi-halal-di-indonesia