Pada tanggal 15 Maret 1962, John F. Kennedy (Presiden Amerika Serikat) memperkenalkan hak-hak dasar konsumen melalui pidato kenegaraan berjudul “A special Message for the Protection of Consumer Interest”. Berdasarkan pada ini, masyarakat dunia kemudian mengenal empat hak dasar konsumen yang kini dikenal dengan sebutan product warranty atau product liability, yaitu (1) hak untuk mendapatkan produk yang aman; (2) hak untuk mendapatkan informasi tentang produk yang digunakan; (3) hak untuk memilih barang dengan jelas dan teliti; dan (4) hak untuk didengar sebagai konsumen.


Sebagai konsumen, maka setiap muslim memiliki hak-hak dasar tersebut, khususnya terkait kehalalan suatu produk. Terminologi halal merupakan bagian dari kewajiban yang harus dipatuhi bagi setiap pemeluk agama Islam. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Pemerintah Republik Indonesia melegalisasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH disebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.


Pelaku usaha wajib melakukan sertifikasi selambat-lambatnya 17 Oktober 2019 sebagaimana ketentuan Pasal 67 UU JPH. Rentang waktu sosialisasi selama lima tahun (2014-2018) diharapkan dapat menumbuhkan persepsi positif atas implementasi UU JPH. Diharapkan, mulai 2019 produk yang beredar di tengah masyarakat sudah sepenuhnya bersertifikat halal. Sehingga, konsumen tidak lagi was-was dan khawatir atas kehalalan suatu produk. Konsumen, cukup dengan melihat ada tidaknya logo halal pada kemasan. Jika telah ada logo halal, maka produk tersebut dijamin halal. Namun jika tidak ada logo halalnya, maka terdapat dua kemungkinan, (1) produk tersebut tidak lolos sertifikasi; (2) produk tersebut belum mengajukan sertifikasi. Namun terkadang terdapat beberapa kesalahan persepsi terkait kehalalan suatu produk. Diantara akan dipaparkan seperti dibawah ini


Bahan Utama Halal tidak Menjamin Kehalalan Produk

Produk herbal yang berasal dari bahan alam biasanya diklaim sebagai produk halal. Begitu juga dengan produk yang tidak mengandung bahan baku dari babi dan alkohol juga langsung diartikan halal. Secara garis besar memang bisa dikatakan demikian, namun bisa jadi selama proses pengolahannya terbentuk alkohol yang bisa menjadikan produk tersebut menjadi tidak halal.


Contohnya seperti Angciu (dikenal masyarakat sebagai Arak Cina). Angciu memang terbuat dari bahan dasar beras ketan yang halal. Namun bahan tersebut kemudian difermentasi sehingga pada akhirnya mengandung alkohol sekitar 15%. Tingginya kandungan alkohol inilah yang menyebabkan tidak halalnya angciu. Oleh karena itu, sertifikasi halal tetap diperlukan walaupun produk tersebut berasal dari bahan baku herbal atau nabati.


Varian Halal tidak Menjamin Keseluruhan Produk juga Halal

Brand produk tertentu biasanya memiliki banyak varian. Jika salah satu varian telah memiliki sertifikat halal, bukan berarti semua produk yang berada pada brand tersebut juga sudah halal. Misalnya pada bakery; roti yang dijual telah bersertifikat halal sementara cake yang dijual masih mengandung alkohol dan rhum. Kondisi seperti ini tidak bisa dikatakan bahwa brand bakery tersebut adalah halal. Konsumen harus tetap waspada dan mengecek setiap varian produk yang dibelinya.


“Zero Alkohol” pasti halal ?

Produk minuman atau makanan yang tertuliskan “zero alkohol” belum bisa dipastikan bahwa produk tersebut halal. Misalnya pada tahun 2008 lalu, salah satu produsen minuman keras memproduksi minuman non alkohol yang diberi nama Cham’alal bagi orang muslim yang ingin merasakan sensasi sampanye. Walaupun zero alkohol, namun Majelis Ulama Indonesia tidak bisa memberikan sertifikat halal bagi produk yang memiliki nama menyerupai yang haram. Begitu pula bagi produk lain yang mengklaim dirinya zero alkohol namun sebenarnya belum tentu halal. Kehalalan produk makanan dan minuman tidak hanya karena terbebas dari alkohol namun juga harus terbebas dari bahan non halal lainnya. Konsumen juga harus selalu mengecek komposisi yang lain, seperti ada tidaknya procine, swine, pork atau boar yang merupakan istilah lain untuk daging babi.


Kosmetik Halal belum Tentu Sah untuk Berwudhu

Kosmetik halal berarti yang dihalalkan adalah produknya, dalam arti kosmetik tersebut tidak tercampur bahan dari babi dsb. Secara produk, bisa saja produk ini sudah tersertifikasi halal namun tidak menghilangkan sifat produknya. Misalnya maskara dan kutek halal yang bersifat waterproof. Dua produk ini aman dan halal untuk digunakan, namun tetap saja ketika berwudhu harus dihilangkan terlebih dahulu agar air wudhu bisa langsung bersentuhan dengan kulit. Hal ini perlu diperhatikan karena terkadang konsumen beranggapan bahwa ketika kosmetik tersebut memiliki logo halal, maka boleh digunakan kapanpun termasuk saat berwudhu.


Kode E pada makanan = Babi ?

Kode E (E-codes) pernah diasumsikan sebagai kode untuk bahan tambahan makanan (BTM) yang berasal dari babi. Hal ini mulai marak ketika beredar berita dimedia sosial bahwa terdapat suatu produk makanan yang mencantumkan kode E pada kemasan komposisi dan diduga mengandung lemak babi.


Sebenarnya E merupakan singkatan dari “Europe”. Menurut UK Food Standar Agency, kode E merupakan kode untuk bahan tambahan/aditif makanan yang telah dikaji oleh Uni Eropa. Bahan aditif yang digunakan sebagai pengemulsi, pewarna, pengawet, pengasam, dsb. Sebagai contohnya; kode E100-E199 merupakan kode untuk pewarna makanan sedangkan E200-E299 merupakan kode pengawet makanan. Jadi, produk yang dalam komposisi nya terdapat kode E bukan berarti produk tersebut haram. Namun status kehalalannya tetap tergantung pada bahan baku dan proses produksi.


Menjelang tahun 2019, dimana semua produk yang beredar di Indonesia harus memiliki sertifikat halal, maka diharapkan masyarakat juga memahami arti dari logo tersebut. Sehingga tidak lagi ditemui kesalahan persepsi yang dapat menimbulkan ketidaksengajaan dalam memakai atau mengonsumsi yang tidak halal.


Sumber : https://halal.unair.ac.id/