Penetapan fatwa hal


al untuk produk konsumsi, oleh Komisi Fatwa MUI dilakukan dengan penelitian, audit halal yang sangat teliti oleh para tenaga ahli di LPPOM MUI. Tidak boleh ada penggunaan bahan yang haram sedikitpun, seperti babi maupun khamar. Termasuk juga tidak boleh ada kontaminasi, pencemaran atau persinggungan dengan yang haram atau najis, baik pada bahan, proses maupun alat-alat yang dipergunakan. 

Dalam Hadits Nabi saw yang terkenal disebutkan, Apa saja yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun adalah haram (HR. Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).

Implementasi Prinsip “Zero Tolerance”

Prinsip yang digunakan dan diimplementasikan berkenaan dengan babi dan segala bentuk turunannya ini adalah: tidak ada toleransi sedikit pun. Harus “Zero Tolerance”. Tidak boleh digunakan, dan tentu juga tak boleh dikonsumsi.

Memang harus diakui, banyak warga masyarakat yang belum atau tidak mengetahui tentang kaidah halal yang sesungguhnya, dengan ketentuan dan prinsip Zero Tolerance ini. Sehingga ada yang mempertanyakan, misalnya, mengapa air minum saja harus disertifikasi halal. Padahal bahan itu ‘kan tidak ada hubungannya dengan yang haram sama sekali. Maka untuk menjawab pertanyaan masyarakat awam itu, perlu dijelaskan secara gamblang. Yaitu bahwa diantara proses pengolahan air minum yang dilakukan oleh kalangan industri adalah, menggunakan karbon aktif sebagai filternya. Dalam penelitian atau audit halal yang dilakukan oleh tim ahli dari LPPOM MUI, ternyata ada bahan karbon aktif yang dibuat berasal dari tulang babi.

Nah, penggunaan bahan dari babi ini dengan sengaja, sebagai filter untuk produksi air minum dalam kemasan, jelas dilarang dalam ketentuan syariah. Karena termasuk dalam kategori Intifa’ atau pemanfaatan babi atau bahan/barang yang dilarang dan diharamkan dalam Islam.

Disebutkan dalam Hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud).

Larangan lebih tegas lagi dalam Hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah beliau mendengar Rasulullah saw bersabda pada tahun penaklukan Mekkah dan beliau waktu itu berada di Mekkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung-patung.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, Apakah boleh (menjual) lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta dipakai orang untuk bahan bakar lampu?” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh, ia tetap haram.” Kemudian Rasulullah saw bersabda lagi ketika itu: “Semoga Allah melaknat/memusnahkan orang Yahudi, sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya lalu mereka rubah bentuknya menjadi minyak, kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Memang manusia adalah makhluk yang sering lalai. Tidak luput dari khilaf, salah dan dosa. Tidak hanya lalai dalam mengerjakan amal-ibadah yang diperintahkan Allah, namun juga lalai dengan melakukan perbuatan dosa. Lebih memilukan lagi jika manusia acap mengentengkan dosa atau maksiat yang ia perbuat. Seolah-olah dengan sikapnya itu, ia akan aman dari adzab Allah di dunia ataupun di akhirat.

Padahal diperintahnya seorang hamba, kita semua, sebagai hamba Allah, untuk melakukan kebaikan dan dilarangnya dari kemaksiatan adalah semata-mata untuk kebaikan hamba itu juga. Karena Allah sangat penyayang terhadap manusia, sesuai dengan Nama-Nya yang Suci; Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Dan suatu hal yang pasti bahwa tidaklah Allah memerintahkan suatu kebaikan sekecil apapun kecuali pasti di dalamnya terkandung maslahat, baik disadari ataupun tidak. Demikian pula jika melarang sesuatu, tentu di dalamnya terdapat mudarat yang membahayakan di kita juga.

Berkenaan dengan hal ini, sebagian besar ulama membagi dosa itu ada yang besar dan kecil, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al Quran dan Sunnah:

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa, 4: 31).

Ath-Thufi berkata: “Di dalam ayat ini terdapat pembagian dosa-dosa kepada besar dan kecil, dan sesungguhnya menjauhi seluruh dosa besar merupakan penghapus dosa kecil.” (Lihat Al-Isyarat Al-Ilahiyyah, 2/23-24).

Perhatikanlah pula makna ayat: “(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari Al-lamam (dosa-dosa kecil). Sesungguhnya Rabbmu Maha Luas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm, 53: 32).

Kebanyakan para ulama tafsir dari genereasi terdahulu dan belakangan berpendapat bahwa Al- Lamam adalah: dosa-dosa kecil. (Lihat kitab Al-Kabair, karya Adz-Dzahaby dan ditahqiq oleh Syeikh Masyhur Hasan Salman).

Dan Hadits yang menunjukkan bahwa dosa itu terbagi menjadi besar dan kecil, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah,ia berkata“Rasulullah saw bersabda: “Shalat lima waktu, mengerjakan shalat jumat kepada shalat jumat (setelahnya) dan puasa di bulan Ramadhan kepada bulan Ramadhan (setelahnya) merupakan penebus dosa diantaranya selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 3322).

Dosa kecil sebenarnya bisa diampuni Allah, insya Allah, melalui istighfar dan ibadah mahdhah seperti dengan mengerjakan shalat lima fardhu yang waktu, dan dan berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam Hadits Nabi saw disebutkan, “Shalat lima waktu dan Jum’at ke Ju’mat (berikutnya) adalah penghapus apa yang di antaranya dari dosa selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim, dalam Kitabut Thaharah Bab Fadhlul Wudhu wash-Shalah ‘Aqibihi no. 233).

Namun, dosa kecil ternyata bisa berubah menjadi besar, jika meremehkan dan menganggapnya biasa saja. Sehingga menjadi terbiasa dengan dosa yang dianggap kecil. Ada orang-orang yang ketika melakukan dosa kecil ia menganggapnya sebagai hal yang biasa, terhapus dengan sendirinya atau tidak mempedulikannya. “Ah, ini mah dosa kecil. Tak menyebabkan masuk neraka.” Dan komentar-komentar sejenisnya.