“Nama yang mengandung unsur-unsur haram menurut MUI, tidak akan mendapatkan sertifikasi halal.”

Mempunyai Sertifikat Halal atas produk adalah satu kewajiban bagi para pelaku usaha di bidang pangan. Selain kewajiban, sertifikasi halal menjadi tolak ukur kepercayaan konsumen untuk mengkonsumsi atau membeli produk yang ditawarkan dan juga meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha.

Sebelum melangkah lebih jauh, apa sih yang dimaksud dengan produk halal? Produk sendiri adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sementara produk halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.

Sertifikat halal sendiri adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, tentunya wajib memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-undang dan peraturan lain yang mengaturnya.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa untuk memperoleh sertifikasi tersebut perlu melampirkan beberapa data sebagai berikut:

  1. Pelaku Usaha;
  2. Nama dan jenis Produk;
  3. Daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
  4. Proses pengolahan Produk.

Sebelum mengajukan, pastikan bahwa semua data dalam dokumen tersebut telah memenuhi persyaratan. Mulai dari pengelolaan, bahan, dan nama harus sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

Kualifikasi sebuah produk dikatakan “halal” sangatlah luas. Tidak hanya dari hasil produk, namun banyak unsur lain seperti pengelolaan/produksi, bahan-bahan yang digunakan juga dituntut memenuhi kualifikasi dimaksud. Nah, satu hal lagi yang perlu dipertimbangkan adalah penamaan dari produk yang dijual.

Nama produk adalah sebuah identitas dari pelaku usaha tersebut. Tak sedikit konsumen mempertimbangkan nama produk yang terkesan negatif untuk dikonsumsi. Memang, kreativitas dalam pemberian nama tidak dibatasi oleh peraturan.

Namun, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) akan mempertimbangkan nama produk yang akan didaftarkan. Demikian tertuang dalam Surat Keputusan LPPOM MUI Nomor SK46/Dir/LPPOM MUI/XII/14 tentang Ketentuan Penulisan Nama Produk dan Bentuk Produk. Berikut adalah nama Produk yang tidak dapat disertifikasi :

  1. Nama produk yang mengandung nama minuman keras, contoh rootbeer, es krim rasa rhum raisin, bir 0%o alcohol;
  2. Nama produk yang mengandung nama babi dan anjing serta turunannya, seperti babi panggang, babi goreng, beef bacon, hamburger, hotdog;
  3. Nama produk yang mengandung nama setan seperti rawon setan, es pocong, mie ayam kuntilanak;
  4. Nama produk yang mengarah kepada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan, seperti coklat Valentine, biskuit Natal, mie Gong Xi Fa Cai e. Nama produk yang mengandung kata-kata yang berkonotasi erotis, vulgar dan/atau porno;

Selain mengenai nama, masalah bentuk produk juga dipertimbangkan tidak akan mendapat sertifikasi. Yaitu produk yang:

  1. Memiliki bentuk hewan babi atau anjing
  2. Memiliki bentuk produk atau label kemasan yang sifatnya erotis, vulgar dan porno.