Mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (halalan
thayiban) adalah perintah Allah SWT dan merupakan bagian dari
ibadah kepada-Nya sebagaimana termaktub dalam Al Quran surat Al Baqarah 168 dan
172 yang artinya:
“Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu”(Al Baqarah 168).
“Hai orang-orang
yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu
menyembah” (Al Baqarah 172).
Pada
dasarnya hukum asal benda adalah mubah (boleh) selama tidak ada dalil yang
mengharamkannya. Karena itu jumlah makanan dan minuman yang
halal dikonsumsi sangatlah banyak dibandingkan dengan yang haram.
Hanya beberapa bahan yang diharamkan dalam Al Quran dan Hadits.
Beberapa
bahan yang diharamkan dalam Al Quran ditemui pada surat Al Baqarah ayat
173 yang menjadi acuan untuk penetapan titik kritis keharaman produk
daging. Narasi yang intinya sama juga ditemukan pada surat Al Maidah 3;
Al An’am 145; dan An Nahl 115) :
“Sesungguhnya Dia
mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah.
Tetapi barang siapa terpaksa, bukan karena menginginkannya, dan tidak
pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun Maha Penyayang” (Al Baqarah 173).
Ayat
ayat ini menjadi dasar titik kritis keharaman produk daging.
1.
Bangkai
Produk
daging pertama yang diharamkan adalah daging bangkai kecuali bangkai hewan air
dan serangga yang tidak memiliki darah mengalir seperti belalang (Hadits).
Bangkai adalah binatang atau hewan yang mati tanpa melalui proses
penyembelihan. Kematian tersebut bisa disebabkan oleh penyakit seperti anthrax pada
sapi atau tetelo pada
ayam dan penyakit lainnya; tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, diterkam
binatang buas dan tidak sempat disembelih sebelum mati. Kenapa bangkai
diharamkan? Sebagai muslim tentunya kita harus “sami’na wa atha’na”,
yaitu setelah mendengar (mengetahui) ayat tersebut maka kita harus
mentaati apa yang dilarang oleh Allah SWT untuk memakannya karena
hal itu pasti tidak baik bagi manusia. Namun secara ilmiah ada beberapa
hikmah terselubung yang dapat diungkapkan kenapa bangkai itu tidak baik untuk
dikonsumsi.
Binatang
yang mati karena sakit tentunya membawa kuman kuman bibit penyakit yang dapat
saja menular kepada manusia yang memakannya, atau berkembang biak dan
mewabah dalam proses penyimpanan dan transportasi sebelum dimasak. Bila kuman
penyakit tersebut dalam bentuk spora yang dormant, maka bisa
jadi tidak akan mati dengan pemanasan dalam proses pemasakan yang biasa. Selain
itu kuman penyakit pada hewan tersebut bisa jadi juga sudah menghasilkan
metabolit berupa racun racun yang tidak dapat hilang karena pemanasan pada
proses pemasakan.
Binatang
yang mati karena tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam binatang
buas dan mati sebelum sempat disembelih maka darahnya tidak akan keluar dari
tubuh hewan tersebut. Kalaupun binatang yang telah mati tersebut disembelih,
maka jantungnya telah berhenti untuk memompakan darah keluar dari tubuh secara
sempurna. Akibatnya maka darah akan tersimpan dalam jaringan daging yang akan
dikonsumsi.
Dalam
perdagangan daging sehari-hari, khususnya daging ayam, sering ditemukan ayam tiren (mati
kemaren). Proses transportasi ayam dari peternakan ke industri
penyembelihan (RPA) berpotensi menyebabkan kematian ayam dalam perjalanan
karena kepanasan, atau oleh sebab sebab lainnya. Apabila ayam mati
tersebut tidak ditangani dengan baik, maka ayam mati tersebut dapat dipungut
kembali oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk kemudian dibersihkan dan
dijual kembali. Biasanya penampakan daging ayam tiren tersebut
tidak segar dan ada bintik bintik darah tertahan pada jaringan daging. Oleh
pedagang illegal, untuk
menyembunyikan penampakan daging yang berbeda tersebut, maka mereka mewarnai
ayam tersebut sehingga mengaburkan perbedaan dengan daging segar. Tentunya
tidak setiap daging ayam yang diwarnai merupakan ayam tiren.
Ketika daging bangkai tersebut sudah bercampur dengan daging segar maka sudah
sulit untuk mendeteksinya.
Pada
skala komersial atau industri, untuk memudahkan proses penyembelihan dan agar
tidak mencelakai penyembelih maka stunning (pemingsanan
sebelum penyembelihan) umum dilakukan. Dalam konteks teknik penyembelihan
hewan dalam proses sertifikasi halal maka penggunaan stunning dalam
proses penyembelihan hewan merupakan hal yang kritis. Stunning dapat
dilakukan secara fisik melalui pemukulan kepala hewan (menggunakan peluru
tumpul atau pemukulan menggunakan alat pemukul) atau menggunakan aliran listrik
(electrical
stunning). Untuk ternak unggas, stunning biasa
dilakukan dengan melewatkan kepala unggas ke dalam air yang dialiri listrik (electrical
stunning) atau menggunakan gas (gas stunning).
Penggunaan stunning yang tidak tepat berpotensi mengakibatkan hewan yang akan
disembelih sudah mati sebelum disembelih sehingga mempunyai status yang sama
dengan bangkai atau hewan yang mati karena tercekik atau dipukul.
Dalam
konteks penelitian untuk mendukung proses sertifikasi halal, maka diperlukan
penelitian untuk autentikasi daging yang berasal dari bangkai atau hewan yang
mati tidak melalui proses penyembelihan. Kandungan darah yang tersisa pada
jaringan daging hewan barangkali bisa digunakan sebagai parameter ukur untuk
menentukan apakah hewan mati karena disembelih, atau mati tanpa proses
penyembelihan. Selain itu diperlukan pula penelitian penelitian terkait
dengan pemilihan teknologi dan perlakuan yang tepat untuk stunning agar
hewan yang akan disembelih tidak mati karena proses stunning sebelum
disembelih.
2.
Darah
Darah
merupakan produk samping atau limbah dari hewan yang diharamkan untuk
dikonsumsi. Darah menyimpan sari pati makanan sebagai hasil dari proses
pencernaan makanan oleh hewan (produk metabolisme). Karena itu darah
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba, baik mikroba non patogen
maupun mikroba patogen (mikroba yang menyebabkan penyakit). Karena
kandungan nutrisi yang tinggi, tidak heran kalau darah steril juga umum
digunakan sebagai media pertumbuhan dalam suatu bioindustri yang menggunakan
mikroba. Darah yang keluar dari proses penyembelihan berpotensi untuk ditumbuhi
oleh mikroba secara liar yang dapat menimbulkan penyakit pada orang yang
mengkonsumsinya atau mengakibatkan wabah penyakit di lingkungan.
Dalam
kehidupan sehari hari, banyak juga masyarakat mengkonsumsi darah yang dibekukan (marus).
Secara alami, darah yang keluar dari proses penyembelihan akan membeku dengan
sendirinya terkena angin karena adanya bahan pembeku pada darah.
Darah
beku (marus)
yang mirip daging hati tersebut banyak ditemukan di pasaran, dan tentunya
haram untuk dikonsumsi. Karena itu perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang
keharaman marus tersebut.
Dalam dunia industri pengolahan daging , darah juga umum dibuat menjadi sosis.
Darah yang dimasak atau darah kering yang ditambah dengan bahan pengisi (filler)
disebut juga dengan sosis darah (blood sausages atau black
pudding). Di Jerman disebut dengan nama Blutwurzt.
Bahan pengisi (filler) yang biasa
digunakan diantaranya daging, lemak, bread crumb, dan
pati patian ( ubi jalar, barley, dan oatmeal). Darah juga bisa digunakan
untuk memberi warna atau bahan tambahan pada sosis.
Pada
industri mikrobial (bioindustri), darah steril juga bisa digunakan sebagai
media pertumbuhan mikroba. Dalam kaitan dengan penelitian untuk mendukung
sertifikasi halal, diperlukan metode untuk mendeteksi adanya penambahan darah
pada produk olahan daging.
3.
Babi
Jenis
hewan yang secara tegas diharamkan dalam Al Quran adalah babi. Babi tidak hanya
diharamkan dalam agama Islam, tetapi keharaman babi juga tertulis dalam kitab
Perjanjian Lama (kitab Taurat atau Old Testament).
Karena itu umat Yahudi juga “mengharamkan” (tidak Kosher) mengkonsumsi babi.
Dalam
proses sertifikasi halal, keharaman babi sudah jelas. Tidak ada restoran yang
menyajikan daging babi ataupun industri yang menghasilkan produk produk
pengolahan daging babi yang mengajukan sertifikasi halal. Tetapi
permasalahan kehalalan timbul ketika ada proses pencampuran daging babi ataupun
lemak babi (adulterasi)
kepada daging hewan halal untuk tujuan eknomis. Karena itu
pengujian laboratoris untuk tujuan autentikasi bahan menggunakan berbagai
metode merupakan keniscayaan. Penelitian penelitian tentang teknik
dan metode baru yang lebih cepat, efisien, akurat dan murah menjadi subyek
untuk diteliti di Pusat Pusat Kajian Halal di Universitas atau Lembaga
Penelitian.
Penggunaan
turunan (derivatives)
dari industri peternakan babi sebagai bahan tambahan (additives) atau
bahan penolong (processing aids) pada berbagai industri
makanan, obat obatan dan kosmetik sangatlah banyak. Hal ini lah salah satu yang
menyebabkan produk produk industri menjadi syubhat (meragukan)
sehingga diperlukan proses sertifikasi halal untuk memastikan kehalalan produk
industri tersebut. Sebagai contoh, lemak babi merupakan sumber utama
untuk shortening dan emulsifier pada
berbagai industri di negara negara dengan konsumsi babi yang tinggi. Demikian
juga gelatin dari kulit dan tulang babi sebagai bahan kapsul obat, texturizer,
dan soft candy; hormone insulin dan enzim
protease (pepsin dan trypsin)
dari pankreas dan lambung babi, dsb.
Sebagian
orang sering mempertanyakan bahwa ayat Al Quran menyebutkan bahwa ayat Quran
menyebutkan “lahmal
khinziir” (daging babi) sehingga yang haram adalah dagingnya.
Bagaimana dengan lemak, kulit, tulang, bulu/rambut dan lain lainnya?.
Dalam praktek, sangatlah sulit memisahkan lemak, kulit, bulu dari daging babi.
Karena daging babi dihukumi sebagai najis berat maka persentuhan dengan najis
berat juga mengakibatkan keharaman bahan yg bersentuhan dengan najis berat
tersebut. Karena itu Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa komponen lain
selain daging babi serta produk produk yang merupakan turunan dari babi juga
merupakan bahan yang haram.
Dalam
praktek komersial sering ditemukan pencampuran daging dari hewan halal dengan
daging babi, atau penggunaan produk turunan dari babi sebagai bahan tambahan (additives)
atau bahan penolong (processing aids) dalam
industri makanan, minuman dan kosmetika. Karena itu dukungan penelitian
atau pengujian terkait dengan autentikasi produk yang dicampur dengan
atau terkontaminasi oleh daging babi dan produk turunan babi merupakan
keniscayaan untuk mendukung sertifikasi halal. Selain itu, penelitian
penelitian pencarian bahan lain yang halal untuk mensubstitusi bahan
bahan dari babi dan turunannya menjadi penting untuk dilaksanakan.
4.
Hewan yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah.
Hewan
yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, pada dasarnya adalah hewan
yang disembelih untuk dipersembahkan bagi berhala atau sesembahan lainnya.
Praktek ini melanggar prinsip paling dasar agama Islam, yaitu tauhid (mengesakan
Allah). Timbul pertanyaan bagaimana kalau seandainya penyembelihan tidak
menyebutkan apa apa? Apakah statusnya haram atau syubhat?
Sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. menyebutkan bahwa “(Sesuatu)
yang halal telah jelas dan yang haram juga telah jelas, dan
diantara keduanya ada perkara Syubhat (samar-samar). Barangsiapa menjaga diri
dari perkara yang syubhat itu berarti ia telah menjaga agama dan kehormatannya.
Barangsiapa terjatuh ke pada yang syubhat berarti ia telah terjatuh dalam yang
haram.”.
Karena
sertifikasi halal pada dasarnya adalah memperjelas sesuatu yang statusnya
syubhat maka, Komisi Fatwa MUI menyepakati bahwa ayat ini diterjemahkan sebagai
“Hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah”. Atau
lebih tegasnya lagi adalah “Hewan yang disembelih dengan tidak mengikuti cara
cara penyembelihan hewan secara Islam”.
Islam
sebagai agama yang sempurna dan petunjuk jalan hidup bagi manusia (way
of life) telah mengatur semua aspek kehidupan manusia dan
interaksinya dengan alam, termasuk dengan hewan. Islam melalui hadits
Rasulullah SAW mengajarkan bagaimana cara penyembelihan hewan, mulai dari
pra-penyembelihan, penyembelihan dan pasca penyembelihan. Karena itu
penyembelihan hewan untuk tujuan sertifikasi halal harus mengikuti pedoman yang
telah digariskan oleh syariah sesuai dengan Quran dan Hadits.
Dalam
konteks dukungan penelitian untuk sertifikasi halal, sampai sekarang belum
ditemukan suatu teknik atau metode laboratoris yang bisa membedakan antara
penyembelihan secara syar’i dengan membaca Basmalah dengan
penyembelihan non syar’i tanpa membaca Basmalah atau
penyembelihan untuk sesembahan kepada berhala. Karena itu untuk
proses sertifikasi halal maka Rumah Pemotongan Hewan harus mengimplementasikan
Sistem Jaminan Halal yang salah satu kriterianya mensyaratkan adanya Tim
Manajemen Halal yang mengawasi penerapan SOP Penyembelihan Halal secara
internal, dan Audit Internal untuk mengevaluasi penerapan
Sistem Jaminan Halal secara berkala demi menjamin konsistensi dan kesinambungan
penerapan Standar Penyembelihan secara syar’i pada RPH tersebut.
5.
Keadaan
Darurat (Emergency)
Agama
Islam diturunkan bukan untuk menyusahkan umat manusia. Penerapan agama Islam
itu sesungguhnya mudah, tetapi juga tidak boleh dimudah-mudahkan sehingga
melanggar aturan yang telah digariskan. Dalam konteks keharaman produk daging,
ayat yang disitir di atas diakhiri dengan kondisi darurat yang membolehkan
mengkonsumsi produk yang haram dalam kasus darurat (emergency), yaitu
dalam keadaan terpaksa, tetapi hati nurani sebenarnya tidak
menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas. Akhir ayat tersebut
ditutup dengan pernyataan bahwasanya “Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang”
dengan harapan Allah akan mengampuni hamba-Nya yang mengkonsumsi bahan yang
haram karena keadaan yang memaksa (darurat).
Di
Indonesia, kasus seperti ini pernah terjadi dalam proses sertifikasi
vaksin meningitis. Pada suatu waktu hanya ada satu satunya produsen
vaksin meningitis yang menyuplai vaksin meningitis ke Indonesia. Hasil audit
menemukan bahwa ada keterlibatan bahan dari turunan babi dalam salah satu step
proses sehingga menyebabkan produk menjadi haram. Namun karena vaksin
meningitis merupakan syarat untuk mendapatkan visa haji dan umroh dan belum ada
alternatif lain yang halal, maka statusnya menjadi darurat sehingga Komisi
Fatwa MUI memfatwakan kebolehan memakai vaksin tersebut walaupun haram.
Beberapa waktu kemudian, beberapa produsen lain mendapatkan sertifikasi halal
untuk vaksin meningitis yang diproduksinya. Karena sudah ada
alternatif yang halal maka status daruratnya menjadi gugur. Komisi
Fatwa MUI kemudian mencabut status darurat untuk penggunaan vaksin meningitis
yang haram tersebut karena telah adanya alternatif vaksin meningitis yang
halal. Wallahualam.
0 Komentar