Pertanyaan:
Bibi
saya baru melahirkan anak. Tapi produksi Air Susu Ibu (ASI)-nya kurang memadai,
sehingga harus ditambah ASI dari luar. Di antara alternatifnya ada yang
menyarankan agar menggunakan ASI yang dapat diperoleh dari Bank ASI.
Namun
kami menjadi ragu tentang hukum memberikan ASI untuk anak dari Bank ASI itu,
dan dampak hukum kemahramannya. Karena saya memiliki pemahaman bahwa dalam
syariah Islam, dengan meminum ASI dari ibu lain, akan menjadi mahram karena
saudara sepersusuan dengan anak-anak ibu yang menjadi donor ASI tersebut.
Kami
menjadi bingung dan ragu dengan kondisi ini. Maka saya pun mengajukan
pertanyaan ini. Bagaimana sebenarnya hukum mengkonsumsi ASI dari Bank ASI itu
dan bagaimana pula dampak kemahramannya ya pa’ ustadz? Atas jawaban dan
penjelasan yang diberikan, saya mengucapkan terimakasih yang
sebanyak-banyaknya.
Jawaban:
Di
antara kaidah Ushul Fiqh disebutkan, kalau ada “mashlahat”, dan tak ada dalil
atau nash yang melarang, maka hukumnya boleh (dilakukan). Apalagi memberikan
air susu ibu (ASI) untuk bayi yang bukan anaknya sendiri, dengan menyusukan
bayi itu secara langsung, telah ada contohnya secara nyata. Yakni bahwa dalam
Sirah Nabawiyyah disebutkan, orang-orang Arab mempunyai tradisi untuk
menyusukan anaknya kepada para perempuan dusun. Di antara alasannya ialah
supaya si anak dapat hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang
baku dengan nilai sastra yang tinggi. Terkenal dalam riwayat, saat Nabi saw
masih bayi juga disusui oleh ibu susunya yang bernama Halimah as-Sa’diyah dari
kabilah bani Sa’ad di desa daerah Thaif.
Dalam
Al-Quran disebutkan perintah sebagai tuntunan wabil-khusus bagi para orangtua:
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban bagi ayah untuk
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Tidaklah
satu jiwa dibebani kecuali sekadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu
mengalami kemudlaratan karena anaknya, demikian pula seorang ayah. Dan pewaris
anak itu pun memiliki kewajiban yang sama. Apabila keduanya (ayah dan ibu)
ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan
musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak-anak
kalian disusukan oleh orang (wanita) lain maka tidak ada dosa bagi kalian
apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf. Bertakwalah
kalian kepada Allah, ketahuilah bahwasanya Allah Maha Melihat terhadap apa yang
kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah, 2: 233).
Al-Hafizh
Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan bimbingan dari Allah kepada para
ibu agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna yaitu
selama dua tahun sehingga setelah lewat dua tahun tidaklah teranggap, karena
itulah Allah menyatakan, ‘Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan’.”
(Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 1/290). Setelah usia dua tahun, air susu ibu
bukan lagi sumber makanan bagi si anak namun ia telah berpindah kepada makanan
yang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata, “Apabila
seorang anak yang menyusu telah sempurna usianya dua tahun maka berarti telah sempurna
penyusuannya. Setelah itu jadilah air susu kedudukannya seperti makanan yang
lainnya sehingga penyusuan setelah dua tahun tidak teranggap dalam masalah
kemahraman.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 104).
Selanjutnya
tentang kemahraman karena penyusuan, disebutkan dalam ayat yang artinya
“Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian,
saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah (saudara perempuan ayah) kalian,
khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki dan dari saudara perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian,
saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan….” (QS. An-Nisa, 4: 23).
Dalam ayat itu, Allah hanya menyebutkan dua golongan wanita yang haram
dinikahi karena hubungan penyusuan, yaitu ibu susu dan saudara wanita
sepersusuan.
Ibnu
Qudamah al-Maqdisi berkata, “Setiap wanita yang haram (dinikahi) karena
hubungan nasab maka diharamkan pula yang semisalnya karena hubungan penyusuan.
Mereka adalah para ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, amah,
khalah, keponakan perempuan dari saudara laki-laki, dan dari saudara perempuan
dengan bentuk yang telah dijelaskan dalam masalah nasab, dengan dalil dari
hadits sabda Nabi saw yang artinya: “Apa yang haram karena nasab maka
itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi). Dalam riwayat lain:
“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran
(nasab).” (al-Mughni, 7/87).
Al-Imam
al-Qurthubi menyatakan, “Apabila seorang wanita menyusui seorang bayi laki-laki
(yang bukan anaknya), wanita ini menjadi haram (dinikahi) si anak (bila telah
dewasa) karena wanita ini adalah ibunya (karena susuan), haram pula bagi anak
susu ini menikahi putri ibu susunya karena merupakan saudara perempuannya,
haram baginya menikahi saudara perempuan ibu susu karena dia adalah khalahnya,
haram baginya ibunya ibu susu karena dia adalah neneknya, haram baginya
menikahi putrinya ayah susu (suami ibu susu yang menjadi sebab keluarnya air
susu tersebut) karena dia adalah saudara perempuannya, haram baginya saudara
perempuan ayah susu karena dia adalah amahnya, haram baginya ibunya ayah susu
karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putri-putri dari anak
laki-laki ataupun anak perempuan ibu susu (cucunya ibu susu) karena mereka
adalah putri-putri dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya
sepersusuan.” (al-Jami’ li Ahkamil Quran, 5/72).
Dalam
praktek mutakhir masa kini, memberikan ASI untuk bayi dilakukan dan diperoleh
dengan alternatif dari ASI para donor yang dikumpulkan di Bank ASI. Maka pada
dasarnya, dalam Kaidah Syariah, hal itu diperbolehkan. Sedangkan masalah
kemahramannya, maka itu masuk ke dalam Ranah Khilafiyah, atau ada perbedaan
pendapat.
Bila
dicermati, kini ada beberapa keluarga di satu lingkungan pemukiman yang membuat
semacam “Asosiasi Ibu Menyusui” dan mengumpulkan secara menyalurkan ASI denga
prakek seperti Bank ASI. Namun dalam skala yang masih kecil, dan dibuat
pencatatan yang baik. Sehingga pendonor dan penerima ASI-nya dapat diketahui
dengan jelas. Dan kalau ada yang mengambil pendapat tentang kemahraman karena
menyusui bayi dengan Bank ASI tersebut, maka hal itu juga dapat diketahui
dengan jelas.
Lebih
lanjut lagi tentang kemahraman sebagai saudara sepersusuan karena meminum ASI,
ada beberapa pendapat. Pertama, ada yang menyebutkan menjadi mahram sebagai
saudara sepersusuan, kalau meminum susu itu secara langsung dengan menghisap
puting ibu yang menyusuinya. Sedangkan kalau meminum susu ASI itu secara tidak
langsung, seperti yang disediakan melalui Bank ASI itu, maka hukum
kemahramannya menjadi tidak berlaku. Pendapat ini berdasarkan pada hadits Nabi
saw yang menyebutkan, “Laa tuharrimul-masshotu wal-masshotaani” “Tidaklah
mengharamkan (karena susuan) satu hisapan dan dua hisapan.” (HR. Muslim no.
1450). Dalam hadits itu disebutkan “al-masshotu” yang secara harfiyah bermakna
“menghisap susu atau menyusu, dengan menghisap langsung ke puting susu ibu yang
menyusukan”. Bukan “meminum” (susu), yang dalam bahasa Arabnya
“syariba-yasyrobu”. Sedangkan meminum susu dari Bank ASI, tidak menghisap susu
secara langsung ke puting susu ibu yang menyusukan. Tetapi bayi meminum ASI itu
melalui gelas, atau dengan menggunakan botol minum untuk bayi.
Selain
itu, berdasarkan perkataan Aisyah disebutkan, “Yang pernah diturunkan dalam
Al-Quran adalah bahwa sepuluh kali persusuan menyebabkan adanya hubungan
mahram, kemudian hal itu dihapus menjadi lima kali persusuan. Kemudian Nabi saw
wafat dan keadaan masih seperti itu.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi dan
kitab Jami’-nya).
Hukum
yang diakibatkan penyusuan tidak bisa ditetapkan bila kurang dari lima susuan,
berdalil dengan hadits ‘Aisyah yang menyebutkan di-mansukh-kannya
(dihapus) hukum penyusuan yang sepuluh menjadi lima: “Dahulu al-Qur’an turun
menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian
dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.” Pendapat ini dipegangi
oleh Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin az-Zubair, asy- Syafi‘i, dan satu riwayat dari
Al-Imam Ahmad. (al-Umm, 5/26—27, Fathul Bari, Syarah Shahih
Muslim, 10/29, Tafsir Ibnu Katsir,1/480—481, Subulus Salam,
3/331—332, Nailul Authar, 6/363)
Al-Imam
asy-Syafi‘i berkata, “Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali
lima kali susuan yang terpisah.” (al-Umm, 5/26). Demikian pula yang dikatakan Ibnu
Hazm rahimahullah dalam al-Muhalla (10/9). Ibnu Qudamah
al-Maqdisi dalam al-Mughni (7/535) juga memberikan pernyataan
yang hampir sama ketika menjelaskan ucapan Abul Qasim al-Khiraqi, “Penyusuan
yang tidak diragukan dapat menyebabkan pengharaman (seperti apa yang haram
karena nasab) adalah lima kali penyusuan atau lebih.” Dan sumber penyusuan
(ASI) itu adalah dari seorang ibu yang sama. Sedangkan kalau dari Bank ASI,
sangat boleh jadi ASI-nya dari beberapa (banyak) ibu yang berbeda-beda.
Adapun
bentuk satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari
puting seorang wanita sampai puas/kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut,
sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting
untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali
penyusuan. (al-Umm, 5/27). Dan sebagian ulama seperti Ibnu Hazm membatasi hanya
air susu yang dihisap langsung dari payudara dengan berpegang pada makna
menyusu secara bahasa. Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat, karena yang
penting air susu itu dapat menutupi rasa lapar dan mengisi usus, bagaimana pun
cara si bayi meminum air susu tersebut. (Fathul Bari, 9/148, al-Muhalla,
10/7).
0 Komentar