Oleh: Heryani — Laboratorium Halal LPPOM MUI
Fatwa MUI, sebagaimana dunia kedokteran, sudah mengenal
pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based fatwa). Hal ini menjadi kelebihan
fatwa yang diambil MUI, sehingga sertifikasi halal MUI beserta standar
kehalalan HAS23000 (yang diambil dari fatwa) menjadi acuan lembaga sertifikasi
halal lain di dunia. Hal ini bisa dilihat salah satunya dalam fatwa penentuan
kadar etanol produk yang dapat disertifikasi halal oleh MUI.
Etanol merupakan salah satu senyawaan alkohol yang
mempunyai rumus kimia C2H5OH. Secara alami etanol
terdapat pada buah matang, seperti durian, nanas, jeruk, dan lainnya. Secara
komersial, etanol diperoleh dari hasil sintetik dan fermentasi. Etanol sintetik
dibuat dari bahan petrokimia melalui proses hidrasi etilena, sedangkan etanol
hasil fermentasi dibuat dari bahan nabati yang mengandung pati atau gula dengan
bantuan ragi (Saccharomyces
cerevisiae). Hasil fermentasi bahan nabati tersebut tidak hanya
menghasilkan etanol, namun juga senyawa alkohol lain sehingga perlu dilakukan
proses pemisahan etanol dengan cara distilasi.
Lalu, etanol seperti apa yang boleh digunakan untuk produk
yang akan disertifikasi halal MUI? Di dunia industri, etanol banyak digunakan
dalam proses produksi seperti sebagai bahan pelarut dan pengekstrak maupun
sebagai bahan sanitasi. Fatwa MUI terbaru No. 10 Tahun 2018 tentang Produk
Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol menyebutkan bahwa hanya
etanol yang berasal dari khamr yang tidak bisa digunakan untuk produk halal
karena bersifat haram dan najis. Jika tidak berasal dari industri khamr,
etanol jenis lain boleh digunakan dengan batasan yang sudah diatur pada fatwa
tersebut. Misalnya, etanol sintetik ataupun hasil industri fermentasi non-khamr.
Selain hal di atas, setidaknya ada beberapa hal baru yang
tertuang dalam fatwa ini. Pertama, kandungan etanol pada produk akhir makanan
tidak dibatasi selama secara medis tidak membahayakan. Kedua, kadar etanol pada
produk akhir minuman ditoleransi kurang dari 0,5% asalkan secara medis tidak
membahayakan. Ketiga, kadar etanol untuk produk antara (intermediate
product) seperti flavor dan bumbu tidak dibatasi, selama
penggunaannya pada produk akhir sesuai dengan ketentuan pertama dan kedua.
Tentunya persyaratan tidak membahayakan ini untuk produk retail sudah
dievaluasi oleh BPOM pemberian izin edar produk. Aturan terbaru ini merubah
arahan fatwa MUI sebelumnya yang tidak mentolerir kandungan etanol pada makanan
dan minuman siap konsumsi.
Lantas hal apa yang mendasari Fatwa MUI dalam memberikan
batasan kandungan etanol dalam minuman? Ternyata, jawabannya adalah riset.
Setiap sertifikasi halal yang dikeluarkan MUI didasarkan atas fatwa yang dapat
dipertanggungjawabkan secara syar’i dan ilmiah. Beberapa ahli sains sudah lama
bertanya mengenai tidak ditolerirnya kandungan etanol. Padahal banyak buah dan
produk olahannya yang secara alami mengandung etanol dan tidak pernah
menyebabkan mabuk (Tabel 1).
Tabel 1 Kandungan etanol
pada buah dan produk olahannya (Gunduz et. al. 2013)
No. |
Bahan |
Kadar Etanol (% b/b) |
1 |
Buah Jeruk |
0,21 x 10-1 |
2 |
Buah Pir |
0,19 x 10-1 |
3 |
Buah Lemon |
0,82 x 10-2 |
4 |
Buah Nanas |
0,48 x 10-2 |
5 |
Buah Apel |
0,76 x 10-3 |
6 |
Jus Jeruk |
0,42 x 10-3 |
7 |
Konsentrat
Jeruk |
0,68 |
8 |
Jus Anggur |
0,94 x 10-3 -
0,84 x 10-2 |
9 |
Cuka Anggur |
0,38 x 10-2 |
10 |
Cuka Apel |
0,0145 - 0,44 |
Akhirnya, Ir. Muti Arintawati, M.Si mewakili lembaga
sertifikasi halal LPPOM MUI mencoba menelaah hal ini. Beliau dibantu Rahajeng
Aditya, mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, yang melakukan
penelitian dengan judul Analisis Proses Sertifikasi Halal dan Kajian Ilmiah
Alkohol sebagai Substansi dalam Khamr di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan
dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) di bawah bimbingan alm. Dr.
Ir. Dahrul Syah. Penelitian dilakukan untuk menstimulasikan hadis nabi H.R.
Muslim dari Ibn ‘Abbas r.a. pada Kitab Sahih Muslim 23 No. 4971 terkait nabidz
( ???? ) yang menyebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas r.a. mengatakan bahwa nabidz
dipersiapkan untuk Nabi Muhammad saw. di waktu petang, kemudian pada pagi
harinya beliau meminumnya, kemudian meminumnya lagi pada pagi dan malam
berikutnya (hari kedua). Demikian juga pada pagi dan petang hari berikutnya
lagi (hari ketiga) yaitu pada ashar. Jika masih ada sisanya, beliau
memberikannya kepada pembantu, atau menyuruhnya untuk membuangnya.
Berdasarkan hadis di atas, LPPOM MUI melakukan penelitian
pada buah anggur, apel, dan kurma yang difermentasi selama 5 hari pada suhu
29°C untuk diukur kandungan etanol, gula dan fraksi asam setiap harinya dengan
alat HPLC (High
Performance Liquid Chromatography). Hasilnya sangat menarik.
Setelah disimpan dalam wadah tertutup dengan kondisi mikroaerofilik, sampel
dari anggur, apel, dan kurma secara berurutan menghasilkan etanol sebesar 0,76%
(v/v), 0,32% (v/v), dan 0,33% (v/v) pada hari ketiga. Ketika waktu penyimpanan
diperpanjang sampai 5 hari, konsentrasi etanol masih di bawah 1% (v/v).
Penelitian lain dilaporkan oleh Najiha et. al. (2010)
yang melakukan percobaan yang sama menggunakan buah kurma, anggur, dan raisin
yang dibuat nabidz dan dianalisis menggunakan alat GC-FID (Gas
Chromatography with Flame Ionization Detector). Hasil dari
penelitian ini merekomendasikan kadar etanol yang masih diperbolehkan sebesar
0,78% berdasarkan pengamatan pada hari ketiga. Selain itu, Rizqiyah (2007)
melaporkan nabidh dari kurma pada hari ketiga mengandung etanol sebesar 0,51%
(b/b). Dari beberapa penelitian tersebut, Komisi Fatwa MUI tidak mengambil
batas dari hasil tertinggi (0,78%), akan tetapi mengambil batas yang lebih aman
untuk kehati-hatian, yaitu 0,5%.
Berbagai riset ini menunjukkan betapa ilmiah cara
pengambilan keputusan dari Komisi Fatwa MUI. Standar yang ilmiah akan mudah
diterima akademisi dan dunia industri sebagai pengguna.
Rujukan:
- Aditya R, Syah D, Arintawati. 2015. Fermentation Profiles of Nabidh
(Fruit Juice). Journal of Halal Research.
1(1):25-29.
- Fatwa MUI terbaru tentang No. 10 tahun 2018 tentang Produk Makanan
dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol
- Gunduz S, Yilmaz H, Goren AC. 2013. Halal Food and Metrology: Ethyl
Alcohol Contents of Beverages. J. Chem. Metrol. 7(1):7-9.
- Najiha AA, Tajul AY, Norziah MH, WanNadiah WA. 2010. A Preliminary
Study on Halal Limits for Ethanol Content in Food Products. Meadle-East
Journal of Scientific Research. 6(1):45-50.
- Rizqiyah R. 2007. Pengaruh Variasi Waktu Pemeraman terhadap Kadar
Etanol Jus Buah Kurma (Analisis Hadits Nabi Secara Saintifik). UIN Sunan
Kalijaga. Yogyakarta.
0 Komentar