Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. 

 Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.[1] Dalam hal ini, produk yang dimaksud yaitu barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakanatau dimanfaatkan oleh masyarakat.[2]

Sedangkan sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (“MUI”).[3]

 

Kewajiban Sertifikat Halal

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.[4]

Lebih lanjut, kewajiban mencantumkan sertifikat halal dalam suatu produk halal diatur dalam Pasal 4 UU JPH yaitu:

Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Adapun kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan tersebut mulai berlaku 5 tahun terhitung sejak UU JPH diundangkan.[5]

Dengan demikian, pada saat artikel ini diterbitkan, jika produk yang dijual tersebut adalah halal, maka produk tersebut wajib bersertifikat halal.

Namun, untuk pelaku usaha mikro dan kecil, kewajiban bersertifikat halal didasarkan atas pernyataan pelaku usaha yang bersangkutan.[6]

Adapun pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil tersebut dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.[7]

 

Wewenang Penerbitan Sertifikat Halal dan Penetapan Kehalalan Produk

Sebelumnya perlu Anda ketahui, kini lembaga yang berwenang menerbitkan sertifikat halal adalah BPJPH.[8] Sebagai informasi, sebelum diundangkannya UU JPH, penerbitan sertifikat halal merupakan wewenang MUI.

Meskipun demikian, dalam artikel Kementerian Agama yang berjudul BPJPH Diresmikan, Menag: Peran MUI Tetap Penting disebutkan peran MUI dalam sertifikasi halal tetap penting. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI memiliki 3 kewenangan, yakni:

1.    Mengeluarkan fatwa kehalalan suatu produk. Jadi, sebelum BPJPH mengeluarkan label halal, terlebih dahulu harus mendapatkan fatwa kehalalan dari MUI. Artinya, fatwa halal tetap jadi domain MUI;

2.    Melakukan sertifikasi Lembaga Pemeriksa Halal (“LPH”); dan

3.    Auditor-auditor yang bergerak dalam industri halal harus mendapat persetujuan MUI.

Namun patut diperhatikan, dengan diundangkannya UU Cipta Kerja, 3 kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana diterangkan di atas telah diubah melalui Pasal 48 angka 3 yang mengubah Pasal 10 UU Cipta Kerja, sehingga menjadi berbunyi:

1.    Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam hal penetapan kehalalan Produk.

2.    Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.

Penetapan kehalalan produk oleh MUI dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal untuk memutuskan kehalalan suatu produk paling lama 3 hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH.[9]

Penetapan tersebut kemudian disampaikan oleh MUI kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan sertifikat halal.[10]

Sebelumnya ada ketentuan yang telah dihapuskan oleh UU Cipta Kerja yaitu, Sidang Fatwa Halal MUI mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga dan/atau instansi terkait.[11]

Selain itu, UU Cipta Kerja juga mempersingkat jangka waktu untuk memutuskan kehalalan produk yang awalnya paling lama 30 hari kerja menjadi paling lama 3 hari sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH.[12]

 

Prosedur Permohonan Sertifikat Halal

Permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha kepada BPJPH dengan melampirkan data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk.[13]

Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 hari kerja dan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan sertifikat halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.[14]

Kemudian pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal wajib:[15]

a.    memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

b.    memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal;

c.    memiliki penyelia halal; dan

d.    melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

 

Label Halal

Pada dasarnya, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha wajib:[16]

a.    mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal;

b.    menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal;

c.    memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal;

d.    memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan

e.    melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

Kewajiban mencantumkan keterangan halal juga diatur secara spesifik bagi pangan olahan yang dikemas eceran, sebagaimana diatur Pasal 32 ayat (1) Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan:

Pelaku Usaha yang memproduksi atau mengimpor Pangan Olahan yang dikemas eceran untuk diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib mencantumkan keterangan halal setelah mendapatkan sertifikat halal.

Perlu diketahui, bentuk label halal yang ditetapkan BPJPH berlaku nasional.[17]

Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib mencantumkan label halal pada:[18]

a.    kemasan produk

b.    bagian tertentu dari produk; dan/atau

c.    tempat tertentu pada produk.

Pencantuman label halal itu harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.[19]

 

Jika Menggunakan Label Halal yang Tidak Sesuai Ketentuan

Terkait pemasangan label halal yang tidak sesuai dengan ketentuan, kami asumsikan bahwa pelabelan halal tersebut dalam arti produk itu belum memperoleh sertifikat halal dari BPJPH.

Sepanjang penelusuran kami, pelaku usaha yang mencantumkan label halal tidak sesuai dengan ketentuan (seperti dicantumkan di kemasan, bagian tertentu dan/atau tempat tertentu yang mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak) dikenai sanksi administratif:[20]

a.    teguran lisan;

b.    peringatan tertulis; atau

c.    pencabutan Sertifikat Halal.

Kemudian untuk pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.[21]

Selain itu, pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label wajib menariknya dari peredaran dan dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.[22]

Meskipun demikian, penggunaan label halal yang tidak sesuai ketentuan dapat menimbulkan implikasi hukum apabila konsumen beragama Islam keberatan dan terkecoh dengan label halal tersebut.[23]

Hal ini mengingat konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.[24]

Sehingga, apabila konsumen merasa dirugikan, pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawaban untuk memberikan ganti rugi berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[25]

Jadi menurut hemat kami, sebaiknya produk yang akan diperjualbelikan segera diurus sertifikasi halalnya agar ditetapkan kehalalan produk oleh MUI sebagai dasar penerbitan sertifikat halal sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.


Dasar Hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

2.    Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal;

3.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;

4.    Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.

 

Referensi:

1.    BPJPH Diresmikan, Menag: Peran MUI Tetap Penting, diakses pada 11 November 2020 pukul 17.09 WIB;

2.    Dr. Abdurrahman Konoras. Jaminan Produk Halal di Indonesia: Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen. Depok: Rajawali Pers, 2017.

 


[1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU JPH”)

[2] Pasal 1 angka 1 UU JPH

[3] Pasal 1 angka 10 UU JPH

[4] Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 8/1999”)

[5] Pasal 67 ayat (1) UU JPH

[6] Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang memuat baru Pasal 4A UU JPH

[7] Pasal 48 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 4A ayat (2) UU JPH

[8] Pasal 6 huruf c UU JPH

[9] Pasal 48 angka 14 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) UU JPH

[10] Pasal 48 angka 14 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 33 ayat (4) UU JPH

[11] Pasal 48 angka 14 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 33 UU JPH

[12] Pasal 48 angka 14 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 33 ayat (3) UU JPH

[13] Pasal 48 angka 10 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU JPH

[14] Pasal 48 angka 10 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 29 ayat (3) dan (4) UU JPH

[15] Pasal 24 UU JPH

[16] Pasal 25 UU JPH

[17] Pasal 37 UU JPH

[18] Pasal 38 UU JPH

[19] Pasal 39 UU JPH

[20] Pasal 41 ayat (1) UU JPH

[21] Pasal 41 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 56 UU JPH

[22] Pasal 8 ayat (4) jo. Pasal 62 ayat (1) UU 8/1999

[23] Dr. Abdurrahman Konoras. Jaminan Produk Halal di Indonesia: Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen. Depok: Rajawali Pers, 2017, hlm.84.

[24] Pasal 4 huruf c UU 8/1999

[25] Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU 8/1999