Metode yang digunakan dalam menetapkan awal Ramadhan dan hari raya yaitu dengan menggunakan Rukyah dan Hisab. Waktu yang pelaksanaan rukyah yaitu pada saat matahari terbenam pada malam 29 hari bulan. Apabila hilal terlihat pada malam tersebut maka esoknya merupakan awal bulan baru dan apabila tidak dapat dirukyah maka esoknya tanggal 30 dari bulan yang sedang berlangsung atau istikmal.
Adapun rukyah yang dimaksud adalah rukyah bi al-fiʻli (melihat dengan mata
secara langsung). Ulama memahami hadis hisab dan rukyah tersebut secara tekstual, yaitu menjadikan rukyah sebagai ibadah yang tidak dapat dilakukan pembaharuan apalagi perubahan dengan rukyah tersebut. Rukyah juga
dipahami sebagai ‘illat (sebab) untuk melaksanakan puasa, maka sebab dalam masuknya bulan Ramadhan,
Syawwal dan
Zulhijjah haruslah
melalui rukyah atau istikmal apabila rukyah tidak dapat dilakukan.
Sedangkan dalam penggunaan hisab,
mereka sepakat bahwa tidak dibolehkan
menggunakan hisab tanpa
adanya rukyah. Hisab dibolehkan hanyalah untuk membantu proses pelaksanaan rukyah yaitu untuk
mengetahui posisi hilal sehingga
memudahkan untuk
melakukan proses rukyah. Akan tetapi ulama berbeda pendapat tentang
kebolehan menolak kesaksian hilal dengan menggunakan ilmu hisab.
Mereka terbagi kepada
dua kelompok yaitu membolehkan menolak kesaksian dikarenakan berbeda dengan hasil hisab karena hilal yang
dapat dilihat haruslah sesuai dengan akal dan syariat meskipun saksi yang dapat melihat lebih daripada satu orang. Sedangkan pendapat kedua tidak dibolehkan menolak kesaksian karena berbeda
dengan hasil hisab,
penolakan kesaksian hanyalah dapat dilakukan dari
segi
keadaan saksi yang tidak memenuhi
syarat
kesaksian.
1. Rukyat
Al-Hilal (Melihat Bulan)
Ketika Allah SWT mensyariatkan suatu ibadah kepada hamba-Nya, Allah
SWT juga menjelaskan waktunya, juga memberikan petunjuk bagaimana cara
mengetahuinya. Pun begitu halnya dalam pensyariatan ibadah puasa.
Allah SWT dan Rasul-Nya memberikan petunjuk bahwa ibadah puasa
adalah ibadah yang waktu pelaksanaannya berdasarkan peredaran bulan. Syariat
ini hadir pada tahun ke 2 H, pada waktu dimana masyarakat Arab dan sekitanya
dalam keadaan tidak bisa membaca, menulis dan berhitung (hitung astronomi).
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ
,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya
kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak
pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan
29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Sehingga sangat wajar jika dalam hal ini cara yang disyariatkan
untuk mengetahui waktu puasa itu dengan cara melihat bulan, karena cara ini
dinilai cara yang paling mudah dilakuakan oleh seluruh manusia, baik dulu
maupun sekarang, awam atau terdidik, desa maupun kota.
Rasulullah SAW dalam banyak sabdanya memberikan petunjuk tentang
melihat bulan, diantara sabdanya:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah
kamu saat melihatnya (hilal) dan berifthar (lebaran) saat melihatnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَال
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابَةٌ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ
تَسْتَقْبِلُوا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً
“Berpuasalah
kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi
bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah
menyambut bulan baru.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)
Walaupun tenyata metode Ru’yat Al-Hilal ini dalam tenerapannya
sedikit terdapat perbedaan dalam jumlah mereka yang melihat. Sebagian
berpendapat bahwa kesaksian satu orang adil yang melihat bulan sudah bisa
diambil. Ini didasari atas hadit yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.
تراءى الناس الهلال، فأخبرت النبي أني رأيته، فصام رسول الله
صلى الله عليه وسلم، وأمر الناس بصيامه
“Masyarakat
tengah berusaha melihat bulan, maka akupun datang menemui nabi dan mengabarkan
bahwa aku sudah melihat bulan, maka Rasulullah SAW berpuasa dan memerintahkan
ummat Islam lainnya untuk berpuasa.” (HR. Abu Daud)
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kesaksian melihat bulan
itu harus datang dari dua orang muslim yang adil, sebagai hasil qiyas dengan
kesaksian pada perkara lainnya, juga didasarkan dari riwayat Husain bin Harits
bahwa Al-Harist bin Al-Hathib seorang amir Mekkah berkata:
أمرَنَا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم أن ننسكَ لرؤيته، فإن
لم نَرهُ فشَهدَ شاهدان عدلانِ نَسَكْنا بشهادتيهما
“Rasulullah SAW
telah memerintahkan kami untuk berpuasa dengan melihat bulan, jika kami tidak
melihatnya, maka kami sudah berpuasa dengan kesaksian dua orang” (HR. Abu
Daud)
Kalangan Al-Hanafiyah dalam Hasyiah Ibnu
Abdin, jilid 2, hal. 92 menambahkan bahwa jika langit cerah, maka
tidak cukup hanya dengan kesaksian satu atau dua orang, akan tetapi harus
berdasarkan kesaksian orang banyak, kecuali jika langit berawan, maka kesaksian
satu atau dua orang tadi bisa diterima.
Karena pada dasarya jika bulan bisa dilihat dengan mata telanjang
dengan keadaan langit cerah, maka mustahil rasanya jika yang melihat hanya
satu, dua orang saja, sehingga sangat wajar jika sebagian ulama dari madzhab
Hanafi ini berpendapat bahwa kesaksiannya harus orang banyak.
Jika dahulu rukyat (melihat) bulannya hanya dengan mata telanjang,
maka sekarang proses melihat bulan sudah mengalami perkembangan, dengan
didukung peralatan canggih modern.
Kehadiran alat teropong yang mampu memperbesar suatu benda hingga
ribuan kali ini sagat membantu dalam proses observasi penentuan awal Ramadhan
ini. Sehingga metode ini akan semakin baik hasilnya.
2. Hisab
Seperti yang sudah disinggung diatas bahwa metode penentuan awal
Ramadhan dengan hisab bukanlah sesuatu yang tercela, bahwa memang dahulunya ada
sebagian ulama yang menilai ilmu hisab seperti ini adalah ilmu yang terlarang,
namun ilmu hisab yang dimaksud oleh para ulama itu adalah ilmu perbintangan
yang biasa digunakan oleh para normal untuk mengetahui perkara ghaib. Tentunya
untuk ilmu perdukunan tersebut semua ulama menyepakati ketidakbolehannya.
Adalah Mutharrif bin Abdillah seorang pembesar tabiin yang memulai
memberikan pendapat tentang penggunaan ilmu hisab setelah memahami hadits
Rasulullah SAW yang menyatakan; “Jika bulan
tidak terlihat, maka taqdirkanlah”. Kata “faqdurulah” ditafsirkan
dengan: قدروه
بحسب المنازل. (perkirakanlah dengan ilmu
hisab), dan yang senada juga diaminkan oleh Abu Al-Abbas bin Suraij, salah satu
pembesar ulama Syafiyah.
Sebagian ulama yang mendukung metode ini menilai bahwa observasi
mata yang dilukan oleh masyarakat terdahulu didasari atas kenyataan bahwa
dahulunya belum ada orang yang memumpuni untuk melakukan penghitungan dengan
ilmu pengetahuan.
Prase yang diungkap Rasulullah SAW: “bahwa kami ini
adalah ummat yang tidak bisa membaca dan berhitung” dinilai
sebagai illah (alasan) keberadaan observasi mata (rukyat)
sebagai penanda awal Ramadhan yang Rasulullah SAW sabdakan.
Dengan kondisi ummat seperti itu sangat wajar jika pilihannya hanya
rukyat saja, karena inilah yang dimampu oleh mereka. Tidak masuk akal jika
malah dengan kenyatakan seperti itu Rasulullah SAW malah memerintahkan untuk
menggunakan ilmu hisab.
Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
diikuti dengan perkembangan ilmu astronomi, sehingga bisa menghitung gerak
bulan dengan tingkat kesalahan yang sangat kecil, bahkan sekarang ini hasilnya
nyaris tanpa salah.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy di dalam kitabnya “Kaifa Nata’amalu
Ma’a As-Sunnah” menjelaskan tentang cara memahami teks hadits melaui
kaidah: التمييز
بين الهدف الثابت والوسيلة المتغيرة (membedakan
antara tujuan yang tetap dan wasilah atau cara yang (bisa) berubah)
Dalam hal ini beliau memberikan contoh tentang hadits puasa
ramadhan dan rukyat, sabda Rasulullah SAW:
صوموا لرؤيته ـ أي الهلال ـ وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم
فاقدروا له
“Berpuasalah
kalian dengan melihat (bulan) dan berbukalah (berlebaran) dengan melihat bulan,
jika terhalang oleh kalian melihat bulan maka taqdirkanlah”
Hadf (tujuan)
utama dari hadits ini adalah hendaklah seluruh ummat Islam berpuasa penuh satu
bulan pada bulan Ramadhan, dan jangan pernah meninggalkan satu haripun tanpa
adanya halangan yang membolehkan baginya untuk berpuasa.
Adapun melihat bulan (rukyat) itu hanya wasilah yang sangat mungkin
bisa berubah dari waktu ke waktu, jika pada zaman Rasulullah SAW wasilah yang
paling mudah dilakukan hanya dengan obsevasi mata telanjang, maka sekarang
observasi tentunya bisa dengan mengunakan peralatan moderen, atau bisa juga
menggunkan ilmu hisab yang tingkat kesalahannya sangat minim.
Imajenasinya adalah jika dahulu masyarakat Islam sudah mengerti
astronomi, kira-kira wasilah apakah yang akan direkomendasikan oleh Rasulullah
SAW?
Jika berita observasi mata telanjang dari satu orang yang adil pada
zaman Rasulullah SAW bisa diterima, dengan tingkat kesalahan yang besar,
kiranya kurang tepat jika kita nenolak hasil hitungan dengan ilmu hisab dengan
tingkat kesalahan yang minim, atau bahkan nyaris tanpa salah.
0 Komentar