Teknologi
pengemasan berkembang dengan pesat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan peradaban manusia.
Merespon
kepedulian konsumen terhadap keamanan pangan yang kian meningkat terutama saat
pandemi dan sesudahnya, teknologi pengemasan khususnya kemasan pangan dituntut
agar memiliki kualitas yang baik, aman dan halal.
Ini
sesuai dengan fungsinya untuk menjaga kualitas produk pangan yang dikemasnya,
memperbaiki tampilan, identifikasi produk, informasi komposisi, dan yang tidak
kalah penting adalah untuk promosi. Pengemasan memegang peranan penting dalam
mendorong penjualan suatu produk dan membangun loyalitas konsumen terhadap
merek.
Ariana,
Business Development Director IPF mengemukakan alasan mengapa kemasan harus
bersertifikat halal, antaranya karena ada penggunakan bahan yang berasal dari
produk hewani yang digunakan dalam proses produksi yang berpeluang non halal.
Pendapat
tersebut dikuatkan oleh Dr. Mulyorini R dari IPB University, kemasan harus
halal approved, karena kemasan (primer) jika terbuat dari bahan haram maka
dapat menyebabkan produk menjadi mutanajis dan haram, bahan tertentu dan dalam
kondisi tertentu memiliki peluang terjadinya migrasi meskipun kecil serta bahan
untuk membuat kemasan ada yang kritis dari sisi keharaman.
Berbagai
jenis material kemasan memiliki kelebihan dan kekurangan, untuk itu penggunaan
nya disesuaikan dengan sifat produk yang dikemasnya. Di antara bahan kemasan
tersebut, plastik merupakan bahan kemasan yang paling populer dan sangat luas
penggunaannya, meski penggunakan kemasan plastik saat ini juga mendapat reaksi
negative terkait lingkungan.
Titik
kritis pada kemasan plastik adalah dari bahan penolong, yaitu penstabil proses
yang digunakan dalam produksi kemasan plastik. Penggunaan garam asam lemak
(Kalsium stearate E470) berpeluang non halal, karena sumbernya dari hewani
seperti lemak babi/lard dan lemak sapi/Tallow.
Dalam
fungsinya sebagai pemlastis, phthalate dalam plastik tidak terikat
kuat secara kimia dengan polimer inang, sehingga dapat menguap ke lingkungan.
Oleh karena itu, phthalate tidak hanya bersifat karsinogenik, juga dapat
menyebabkan gangguan pada inhalasi, sehingga tidak thoyib.
Yang juga
harus diperhatikan adalah bahan tambahan/penstabil dalam pembuatan plastik ini
tidak terikat kuat secara kimia pada polimer plastik, kecuali bahan tambahan
untuk plastik anti api (biasanya digunakan untuk baju pemadam kebakaran).
Konsekuensinya bahan tambahan tersebut dapat bermigrasi ke dalam bahan yang
dikemas. (Sri Mulijani,IPB).
Untuk
kemasan kertas, titik kritis halal di antaranya terdapat dalam penggunaan
enzyme, gelatin, asam lemak yang ketiganya dapat berasal dari hewani. Khusus
untuk penggunaan enzyme, titik kritis juga dapat disebabkan enzyme yang
berasal dari proses mikrobial. Ariana menambahkan, Kemasan kertas yang
digunakan sebagai kemasan pangan harus food grade dan juga harus
memenuhi standard halal dalam prosesnya.
Dengan
memahami titik kritis pada bahan-bahan kemasan tersebut seyogyanya akan
membantu para pelaku usaha dalam membuat keputusan memilih bahan kemasan yang
sesuai dengan karakter produk yang dikemasnya.
Jika
diperlukan menggunakan bahan plastik sebagaimana plastik yang saat ini paling
banyak dipakai, tentunya harus memenuhi persyaratan tertentu. Ariana menegaskan
tidak perlu khawatir dalam penggunaan kemasan karena di Indonesia sudah ada
beberapa perusahaan yang bergerak dari hulu sampai hilir yang sudah
bersertifikat halal. Dan terkait dampak penggunaan plastik terhadap lingkungan,
dapat di atasi dengan cara penanganan sampah plastik yang benar.
Sumber : Tati
Maryati Federasi Pengemasan Indonesia (IPF), dimuat pada : gatra.com
0 Komentar