Kata musta’mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan atau memakai. Namun meski sama-sama menggunakan istilah air musta'mal, dalam prakteknya masing-masing mazhab ulama berbeda dalam pengertian, batasan serta hukumnya. Bahkan perbedaannya bukan antara satu mazhab dengan mazhab lainnya, namun juga sesama ulama dalam satu mazhab pun terlihat saling berbeda juga.
1. Air Musta'mal Menurut Mazhab Al-Hanafiyah
Di dalam kitab mazhab Al-Hanafiyah, yaitu Syarah Fathul Qadir 'ala Al-Hidayah, disebutkan bahwa ada perbedaan pendapat menurut pandangan mazhab Al-Hanafiyah antara sesama ulama di dalamnya. [1]
Ada empat ulama besar dimana masing-masing punya definisi tentang air musta'mal, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar.
a. Al-Imam Abu Hanifah bersama Abu Yusuf
Al-Imam Abu Hanifah bersama Abu Yusuf berpendapat bahwa air musta'mal adalah :
الْمَاءُ الَّذِي أُزِيل بِهِ حَدَثٌ أَوِ اسْتُعْمِل فِي الْبَدَنِ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ
Air yang digunakan untuk menghilangkan hadats atau digunakan pada badan dalam bentuk qurbah.
Contohnya adalah wudhu' atas wudhu' dengan niat taqarrub atau untuk menjalankan kewajiban.
b. Muhammad
Nama Muhammad dalam mazhab Al-Hanafiyah sudah tidak asing lagi. Beliau adalah salah satu tokoh besar mazhab Al-Hanafiyah, murid langsung dari Al-Imam Abu Hanifah. Seringkali nama beliau disebut dengan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani.
Dalam pendapat beliau, yang disebut air musta'mal adalah :
الْمَاءُ الَّذِي اسْتُعْمِل لإِقَامَةِ قُرْبَةٍ
Air yang digunakan untuk menegakkan qurbah.
c. Zufar
Nama Zufar juga bukan nama yang asing dalam mazhab Al-Hanafiyah. Beliau termasuk tokoh besar yang represntatif mewakili mazhabnya. Dalam pandangan beliau, air musta'mal adalah :
الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَل لإِزَالَةِ الْحَدَثِ
Air yang digunakan untuk menghilangkan hadats
Dengan perbedaan definisi air musta'mal ini, maka bisa kita simpulkan hal-hal berikut :
Pertama : Qurbah
Terkait dengan hukum air yang bekas dipakai untuk berwudhu' dengan niat qurbah, yaitu untuk shalat fardhu, shalat jenazah, menyentuh mushaf, membaca Al-Quran dan seterusnya.
Kalau orang itu dalam keadaan berhadats, maka tidak ada khilafiyah bahwa air bekas wudhu'nya itu adalah air musta'mal. Penyebabnya ada dua, yaitu karena wudhu' itu menghilangkan hadats dan juga karena bernilai qurbah.
Namun yang jadi perbedaan pendapat apabila orang tersebut dalam keadaan suci masih punya wudhu' alias tidak berhadats.
- Musta'mal : Menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad, air bekas dipakai untuk wudhu' yang hukumnya sunnah dan tujuannya bukan untuk menghilangkan hadats termasuk air musta'mal.
- Bukan Musta'mal : Sedangkan menurut Zufar, hukum air itu bukan air musta'mal. Alasannya, karena wudhu' yang dilakukan tidak dalam rangka menghilangkan hadats. Hal ini sebagaimana pengertian air musta'mal dalam pandangan Zufar, yaitu air yang sudah digunakan untuk mengangkat hadats.
Kedua : Tabrid
Makna kata tabrid secara harfiyah adalah mendinginkan. Maksudnya, seseorang berwudhu atau mandi tidak dengan niat untuk qurbah atau mengangkat hadatas, melainkan sekedar untuk mendinginkan badan. Mungkin yang lebih tergambar untuk kebiasaan di negeri kita, mandi untuk sekedar menyegarkan diri.
Apabila dia tidak dalam keadaan berhadats, air bekas wudhu' atau mandinya disepakati oleh para ulama mazhab Al-Hanafiyah bukan air musta'mal .
Namun hukumnya menjadi khilafiyah di antara mereka apabila orang tersebut dalam keadaan berhadats. Ada yang mengatakan air itu musta'mal dan ada yang tidak.
- Musta'mal : Menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Zufar, bila orang itu berhadatas, maka air bekas wudhu dan mandinya menjadi musta'mal. Alasannya karena telah terjadi penghilangan hadats, meski pun niatnya hanya untuk mendinginkan atau menyegarkan.
- Bukan Musta'mal : Menurut Muhammad, air bekas wudhu' atau mandinya bukan air musta'mal. Alasannya karena syaratnya tidak terjadi, yaitu qurbah.
Ketiga : Air Muqayyad
Menurut mazhab Al-Hanafiyah, bila seseorang berwudhu atau mandi janabah dengan menggunakan air muqayyad, maka air bekasnya itu tidak menjadi musta'mal.
Tapi apa yang dimaksud dengan air muqayyad?
Selama ini kita lebih sering mendengar istilah air mutlak, seperti air sumur, air hujan, air es, air embun dan lainnya. Selain air mutlaq dalam fiqih juga dikenal air muqayyad, yaitu air yang tercampur dengan benda lain yang suci, namun tidak mengubah wujud asli air itu.
Contohnya adalah air bunga mawar, air yang tercampur dengan kapur barus dan juga air yang tercampur dengan bekas tepung.
Hukum air muqayyad ini masih boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi janabah, karena wujudnya masih air walaupun agak keruh oleh campuran benda lain dalam jumlah yang sedikit.
Sedangkan air yang sudah berubah secara fisik karena tercampur dengan benda lain dengan sangat banyak sehingga membuatnya menjadi pekat, maka tidak sah untuk digunakan berwudhu atau mandi janabah. Contoh air yang seperti ini adalah air teh, air susu, air kopi, kuah sayur, kecap, dan seterusnya.
Keempat : Mencuci Benda Suci
Dalam kasus dimana air digunakan untuk mencuci benda-benda yang suci secara hukum, maka para ulama mazhab Al-Hanafyah sepakat bahwa air itu tidak menjadi musta'mal.
Misalnya air digunakan untuk mencuci tangan, buah, sayuran, tempat makan, bebatuan, asalkan semua benda itu tidak najis, maka air bekas cuciannya tidak musta'mal.
2. Air Musta'mal Menurut Mazhab Al-Malikiyah
Adapun pandangan mazhab Al-Maliliyah tentang air musta'mal adalah :
a. Air Musta'mal Hukumnya Tetap Suci dan Mensucikan
Ini adalah hal yang paling unik dan menarik dari mazhab Al-Malikiyah. Boleh dibilang inilah satu-satunya mazhab yang berpandangan bahwa air musta'mal dalam pandangan mereka tetap berstatus tahir mutahhir, atau suci dan mensucikan.
- Wudhu' dan Mandi Yang Wajib
Para ulama mazhab Al-Malikiyah berpandangan air yang bekas dipakai untuk wudhu' dan mandi yang sifatnya mengangkat hadats, hukumnya tetap sah untuk digunakan berwudhu' atau mandi janabah lagi.
- Wudhu' dan Mandi Sunnah : Makruh
Namun dalam kasus wudhu' atau mandi sunnah, dan masih ada air yang tidak musta'mal, maka hukumnya berubah menjadi makruh.
- Membersihkan Najis : Boleh Digunakan Lagi
Sedangkan air yang sudah digunakan untuk membersihkan najis atau bekas mencuci tempat makan, hukumnya boleh untuk digunakan lagi untuk membersihkan najis.
b. Pengertian
مَا اسْتُعْمِل فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ فِي إِزَالَةِ حُكْمِ خَبَثٍ
Air yang digunakan untuk mengangkat hadats atau mengilangkan hukum khabats.
Dan yang dimaksud dengan air musta’mal untuk mengangkat hadats adalah air yang menetes dari anggota badang, atau yang tersambung dengan air itu, atau terlepas darinya, termasuk bila mencelupkan anggota badan ke dalam air itu. [2]
Ad-Dasuki mengatakan bahwa hukum makruhnya menggunakan air musta'mal terkait dengan dua hal. Pertama, apabila air itu jumlahnya sedikit, seperti seember wadah untuk wudhu' dan mandi. Kedua, apabila masih ada air lain yang tidak musta'mal.
Masih menurut Ad-Dasuki, apabila ditambahkan ke dalam air musta'mal yang sedikit itu sejumlah air yang banyak dan statusnya bukan musta'mal, hukum makruhnya pun menjadi hilang.
Ad-Dardir berpendapat bahwa hukum makruh itu terjadi apabila jumlah air itu sedikit, digunakan untuk mengangkat hadats dan bukan hukum khabats, serta ketika digunakan untuk mengangkat hadits yang kedua kalinya.[3]
3. Air Musta'mal Menurut Mazhab Asy-Syafi’iyyah
Adapun pandangan mazhab Asy-syafi'iyah dalam masalah air musta’mal sebagai berikut :
a. Pengertian
الْمَاءُ الْقَلِيل الْمُسْتَعْمَل فِي فَرْضِ الطَّهَارَةِ عَنْ حَدَثٍ أَوْ فِي إِزَالَةِ نَجَسٍ
Air yang sedikit dan digunakan untuk berthaharah fardhu demi mengangkat hadats atau menghilangkan najis.[4]
Dalam versi qaul jadid dari mazhab Asy-syafi'iyah memang disebutkan bahwa yang dimaksud dengan thaharah fardhu adalah cucian pertama ketika berwudhu'. Sehingga air yang bekas digunakan untuk cucian kedua dan ketiga, bukan termasuk air musta'mal.
b. Air Sedikit
Dalam pandangan mazhab Asy-syafi'iyah versi qaul jadid disebutkan bahwa hukum air musta'mal yang jumlahnya sedikit adalah suci tetapi tidak mencusikan (طاهر غير مطهر). Air itu suci dalam arti bukan air najis, namun tidak bisa digunakan bersuci.
Maka air itu tidak sah untuk berwudhu atau mandi janabah dan juga untuk membersihkan najis juga tidak sah.
Alasannya adalah apa yang dilakukan oleh para salafuna ash-shalih, dimana mereka tidak menjaga diri dari air itu dan juga atas apa yang menetes darinya. Disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah SAW menuangkan air bekas wudhu atas dirinya yang sedang sakit.
جَاءَ رَسُول اللَّهِ يَعُودُنِي وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِل فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَيَّ مِنْ وَضُوئِهِ فَعَقَلْتُ
Rasululllah SAW menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Maka beliau berwudhu dan memercikkan air bekas wudhunya kepadaku hingga aku sadar. (HR. Bukhari dan Muslim)
Alasan lainnya kenapa air ini tidak mensucikan, karena perbuatan salafuna ash-shalih yang tidak mengumulkan air ini hingga menjadi banyak. Ketika hanya ada air sedikit dan musta'mal, mereka langsung bertayammum saja.
Adapun yang menjadi 'illat dari tidak bisanya air musta'mal untuk bersuci, menurut Asy-Syarbini karena air musta'mal bukan lagi air mutlak. Dan 'illat ini dibenarkan juga oleh An-Nawawi dan lainnya.
c. Air Musta'mal Yang Sedikit Dikumpulkan Menjadi Banyak
Para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah berbeda pendapat tentang air musa'mal yang jumlahnya sedikit, kemudian dikumpulkan dan dicampur menjadi satu sehingga menjadi air yang banyak jumlahnya.
Yang lebih shahih (al-ashah) dalam pandangan mazhab ini, air itu berubah hukumnya menjadi air yang mensucikan, apabila dicampur dengan air lain sehingga jumlahnya menjadi dua qullah atau lebih.
Alasanya, karena dalam pandangan mereka, air najis yang dicampurkan dengan air suci hingga jumlahnya menjadi banyak, hukumnya menjadi suci. Maka tentu air musta'mal pun lebih utama untuk berubah menjadi suci, dengan jalan dicampurkan dengan air suci hingga jumlahnya menjadi banyak.
Sedangkan lawan dari pendapat ini, bahwa hukum air itu tidak berubah menjadi mensucikan. Alasannya, karena kekuatan air itu telah habis lantaran telah digunakan, kemudian bertemu dengan air kembang dan sejenisnya.
d. Batasan Volume 2 Qullah
Para ulama mazhab Asy-syafi'iyah ketika membedakan air musta’mal dan bukan (ghairu) musta’mal membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta’mal.
Bila volume air itu telah melebihi volume minimal maka air itu terbebas dari kemungkinan musta’mal. Itu berarti air dalam jumlah tertentu meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah tidak terkena hukum sebagai air musta’mal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ- وَفِي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ
Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu Mengatakan “Rasulullah SAW telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud Tirmidhi Nasa’i Ibnu Majah)
Hadits inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah yang menjadi batas volume air sedikit.
a. Qullah Ukuran Volume Air
Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta’malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter kubik atau barrel.
b. Ukuran Masa Lalu
Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan dua abad sesudahnya para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl (رطل) yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.
Sayangnya ukuran rithl ini pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithl buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang Mesir. Walhasil ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 rithl.
Lucunya begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam.
c. Ukuran Masa Kini
Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international di masa sekarang ini?
Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran yang berlaku di zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini berbeda-beda.
- Wahbah Az-Zuhaili = 270 Liter
Dr. Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menuliskan bahwa dua qullah itu kira-kira sejumlah 270 liter. [5]
- Mushthafa Dib al-Bugha = 190 Liter
Sedangkan dalam kitab al-Tadzhib fi Adillat Matn al-Ghayat wa al-Taqrib, Mushthafa Dib al-Bugha, menyebutkan bahwa jumlah itu setara dengan 190 liter. [6]
- Pendapat Lain = 160,5 liter
Ulama lain menyebutkan bahwa 2 qullah itu setara dengan 160,5 liter. [7]
4. Air Musta'mal Menurut Mazhab Al-Hanabilah
Terkait dengan pengertian dan hukum air musta'mal, umumnya para ulama di dalam mazhab Al-Hanabilah banyak saling berbeda antara satu dan lainnya.
a. Pengertian
Dzhahirul mazhab menyebutkan bahwa batasan air musta'mal dan hukumnya adalah sebagai berikut :
الْمَاءُ الَّذِي اسْتُعْمِل فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَةِ نَجَسٍ وَلَمْ يَتَغَيَّرْ أَحَدُ أَوْصَافِهِ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ لاَ يَرْفَعُ حَدَثًا وَلاَ يُزِيل نَجِسًا
Air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats atau menghilangkan najis, dimana salah satu sifatnya tidak berubah. Dan hukumnya suci namun tidak mensucikan, sehingga tidak mengangkat hadats dan menghilangkan najis.
Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa Al-Imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa hukum air itu tahirun mutahhir, yaitu suci dan mensucikan.[8]
b. Air Musta'mal Untuk Thaharah Mustahabbah
Para ulama dalam mazhab Al-Hanabilah ini juga berbeda pendapat dalam hukum air musta'mal yang digunakan untuk thaharah yang sifatnya mustahabbah.
Misalnya wudhu' mustahabbah yang dilakukan seseorang yang tidak berhadats. Sehingga niat ataupun tujuan wudhu'nya bukan untuk mengangkat hadats, melainkan hanya sekedar untuk memperbaharui wudhu'nya.
Contoh lainnya adalah air yang telah digunakan untuk membasuh anggota wudhu' pada basuhan yang kedua dan ketiga. Yang hukumnya wajib hanya basuhan pertama, sedangkan basuhan yang kedua dan ketiga hukumnya mustahabbah.
Dan termasuk ke dalam kasus ini adalah mandi yang hukumnya sunnah, seperti mandi untuk melakukan shalat Jumat dan shalat Idul Fithri serta Idul Adha.
Pendapat pertama mengatakan bahwa hukumnya sebagaimana air musta'mal. Namu pendapat kedua menyebutkan bahwa air itu tidak menjadi musta'mal dan tidak ada alasan untuk menghalangi kesucian dengannya.
c. Tabrid dan Tandzif
Dalam mazhab Al-Hanabilah, air yang digunakan dalam rangka tabrid atau mendinginkan badan dan tandzif atau membersihkan badan, keduanya tidak termasuk air musta'mal.
Bahkan Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa tidak ada khilafiyah dalam hal ini.
d. Ta'abbud Selain Mengangkat Hadats
Namun ada perbedaan pendapat dalam kasus dimana air digunakan untuk amalan yang bersifat ta'abbudi namun di luar dari mengangkat hadats. Contohnya adalah mencuci tangan ketiga bangun tidur, yang merupakan perintah agama (ta'abbudi) sebagaimana hadits berikut ini :
إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فيِ الإِنَاءِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
Bila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya hendaklah dia mencuci kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam wadah air. Karena kalian tidak tahu dimana tangannya semalam. (HR. Bukhari Muslim)
Abu Al-Khattab menyebutkan bahwa ada dua riwayat tentang masalah ini. Riwayat pertama memandang bahwa air bekas cuci tangan itu termasuk musta'mal. Namun riwayat yang lain memandang air itu bukan termasuk air musta'mal.
Wallahu a'lam bishshawab.
Sumber : Rumah Fiqih Indonesia oleh Ahmad Sarwat, Lc., MA
Referensi :
[1] Syarah Fathul Qadir 'ala Al-Hidayah, jilid 1 hal. 89-90
[2] Hasyiyatu Ad-Dasuki, jilid 1 hal. 41-42
[3] Asy-Syarhu Ash-Shaghir, jilid 1. hal. 56
[4] Asy-syairazy, Al-Muhadzdzab, jilid 1 hal. 8
[5] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid 1 hal. 273
[6] Mushthafa Dib al-Bugha, al-Tadzhib fi Adillat Matn al-Ghayat wa al-Taqrib, hal. 13
[7] lihat http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=16107
[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal. 18-21
0 Komentar